PELAYANAN KONTEKSTUAL
Iskak
Sugiyarto
LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal dengan keanekaragaman kebudayaan
dan ratusan suku yang tersebar di ribuan pulau. Di antara pulau-pulau di
Indonesia, pulau Bali mungkin paling terkenal akan kekayaan adatnya, keseniannya,
dan tariannya, namun sebenarnya setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas,
selain kaya dalam tradisi serta keindahan alamnya. Namun, di balik semua
senyum, kesenian, dan keanekaragaman kebudayaan itu ada banyak orang yang hidup
tanpa harapan dan tanpa memiliki Juruselamat. Banyak suku terhalang di balik
tembok yang tak tampak serta dinding pemisah kebudayaan yang menganggap bahwa
kekristenan ialah agama asing, agama penjajah atau sesuatu yang diimpor dari
Barat.
Menurut Amanat Agung, kita diperintahkan
untuk melintasi pemisah budaya itu untuk menjangkau semua suku ini. Yang
dimaksudkan dengan istilah “bangsa” ialah suku bangsa (ethnic group).
Kata bangsa mengandung arti etnis atau suku dalam Alkitab. Jadi
sebaiknya, Amanat Agung itu dibaca atau ditafsirkan demikian: “Jadikanlah semua
suku bangsa (ta ethne) murid-Ku.” [1]
Orang Kristen menganggap bahwa tujuan Allah untuk menjangkau dunia ini hanya
berdasarkan Amanat Agung yang diberikan kepada jemaat Kristus dalam Matius 28:18-20; Markus 16:15-18; Lukas
24:44-49; Yohanes 20:21; Kisah Para Rasul 1:8. Memang lima nas itu
merupakan dasar yang kokoh untuk penginjilan dunia. Namun demikian, pandangan
ini masih kurang lengkap sebab tidak mencakup seluruh isi firman Allah. Dari
Kitab Kejadian sampai Kitab Wahyu misi Allah untuk memberkati semua suku
ditekankan berulangkali. Misalnya, lima kali dalam kitab pertama dari Alkitab,
tujuan Allah bagi suku-suku bangsa diungkapkan. Setelah Kejatuhan manusia ke
dalam dosa, Allah mengungkapkan rencana-Nya untuk memberkati semua suku oleh
perjanjian-Nya dengan Abraham.
●
“Olehmu
semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3)
●
“Oleh
dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat” (Kej. 18:18)
●
“Oleh
keturunanmulah semua bangsa...akan mendapat berkat” (Kej. 22:18; 26:4)
●
“Olehmu...semua
kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 28:14)
Rencana Allah bagi semua suku bangsa juga menjadi tema yang penting dalam
Kitab Mazmur.
●
“Beritakanlah
perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa” (Mzm. 9:12)
●
“Kiranya
Allah...memberkati kita...supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu
di antara segala bangsa” (Mzm. 67:2,3)
●
“Segala
bangsa yang Kau jadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan,
dan akan memuliakan nama-Mu” (Mzm. 86:9)
●
“Ceritakanlah
kemualian-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya...di antara
segala suku bangsa” (Mzm. 96:3)
●
“Pujilah
TUHAN, hai segala suku bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa!” (Mzm.
117:1)
Tujuan Allah untuk memberkati semua suku bangsa juga jelas terlihat dalam
pemberitaan para nabi dalam Perjanjian Lama.
●
“Aku
akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa” (Yes. 49:6)
●
“Rumah-Ku
akan disebut rumah doa bagi segala bangsa: (Yes. 56:7)
●
“Aku
akan membuat kuasa kemuliaan-Ku berlaku atas bangsa-bangsa” (Yes. 39:21)
●
“Orang-orang
dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepada-Nya [Sang Mesias]”
(Dan. 7:14)
●
“Sebab
dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari Nama-Ku besar di antara
bangsa-bangsa” (Mal. 1:11).
Dari ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pelayanan
lintas budaya merupakan suatu keharusan, sesuatu yang tidak dapat diabaikan.
Kita harus melintasi jurang pemisah kebudayaan dan memberitakan Injil kepada
segala suku bangsa jika kita ingin menjadi murid-murid yang taat kepada
kehendak Allah yang tersingkap dalam Firman-Nya.
TEOLOGI KONTEKSTUAL DALAM TEOLOGI PENGINJILAN
Setiap gereja atau orang Kristen
yang taat kepada Amanat Agung harus melibatkan diri dalam pelayanan lintas
budaya dengan memakai kontekstualisasi.[2]
Istilah kontekstual sendiri telah digunakan secara populer dalam dunia
pendidikan teologi pada dekade-dekade akhir abad XX ini.[3]
Tetapi sebelum dapat melaksanakannya dengan tepat kontekstualisasi, kita
seharusnya mengerti teologi kebudayaan, yaitu yang diajarkan dalam Firman Allah
tentang kebudayaan. Bagaimana Allah sendiri memandang keanekaragaman kebudayaan
manusia?
Penjelasan yang paling singkat dan
seksama terdapat dalam Ikrar Lausanne tahun 1974 (Wagner, tth:173-183). Pada tahun 1974 di Lausanne, Swiss
diadakan suatu konferensi internasional mengenai penginjilan dunia. Tokoh-tokoh
Kristen seluruh dunia dipimpin oleh Billy Graham berkumpul untuk bertukar
pikiran dan menggumuli berbagai soal berkaitan dengan penginjilan. Mereka
menyusun suatu ikrar mengenai penginjilan. Dalam pasal 10 ikrar itu tertulis:
10. Pekabaran Injil Dan Kebudayaan:
Perkembangan strategi untuk penginjilan dunia
menuntut visi dan
metode-metode baru. Di bawah bimbingan Allah, akan
timbul
gereja-gereja yang berakar di dalam Kristus dan
erat hubungan dengan
kebudayaannya. Kebudayaan memiliki keindahan
dan kebaikan.
Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, maka
seluruh kebudayaannya
dinodai oleh dosa dan sebagian lagi dikuasai roh
jahat. Injil tidak
menganggap kebudayaan yang satu lebih unggul
daripada yang lain,
tetapi Injil menilai semua kebudayaan menurut
ukuran kebenaran dan
keadilannya sendiri, dan menuntut moral yang
tinggi dalam setiap kebudayaan.
Badan-badan pekabaran Injil terlalu sering memasukkan
kebudayaan asing
bersama dengan Injil, dan gereja-gereja kadang
kala lebih terikat pada
kebudayaan daripada Alkitab. Penginjil-penginjil
Kristus harus rendah hati mengosongkan dirinya dari segala sesuatu, kecuali
keaslian kepribadiannya,
untuk menjadi pelayan bagi orang lain, dan
gereja-gereja harus berusaha
mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya
itu dilakukan
demi kemuliaan Allah. (Mrk. 7:8,9,13; Kej.
4:21,22; 1Kor. 9:19-23;
Flp. 2:5-7; 2Kor. 4:5).
Ikrar ini
sedikitnya memaparkan tiga pokok yang terpenting tentang teologi kebudayaan:
v
Kebudayaan
memiliki dimensi ilahi dan dimensi setani.
v
Tidak
ada suatu kebudayan yang lebih unggul dari kebudayaan yang lain.
v
Kita
harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apa pun.
Pertama, pasal 10 ini menjabarkan
bahwa kebudayaan memiliki dua dimensi. Keanekaragaman kebudayaan manusia
memiliki unsur-unsur positif dan negatif, unsur-unsur ilhai dan setani.
Kebudayaan manusia penuh dengan keindahan dan kebaikan sekaligus dinodai oleh
dosa dan dikuasai Iblis.
Kedua, pasal 10 ini mengajarkan
bahwa tidak ada “kebudayaan yang lebih unggul daripada yang lain”. Sadar atau
tidak, pada umumnya, para penginjil cenderung menganggap bahwa kebudayaan
mereka lebih baik daripada kebudayan para penerima. Tetapi menurut Firman
Allah, kita tidak boleh bermegah tentang adat kita sendiri. Kita hanya boleh
bermegah tentang Yesus, Pencipta dan Hakim adat kita.
Ketiga, pasal 10 ini memaparkan
bahwa kita harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apapun. “Badan-badan
pekabar Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing ke dalam Injil dan
gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada kebudayaan dari Alkitab.” Kita
harus memberitakan Injil semata tanpa tambahan tata ibadah tertentu atau
kebudayaan yang berasal dari si pemberita Injil.
Harvie Conn, ahli misiologi dari
Westminster Theological Seminary, menggambarkan proses ini sebagai berikut.
Menurutnya kontekstualisasi adalah “seni menabur benih Injil dalam beraneka
ragam kebudayaan tanpa membawa potnya” (Conn 1982:12). Dalam definisi ini,
“pot” yang biasanya dibawa si penginjil itu melambangkan kebudayaan, adat, dan
tradisinya.
Pokok ketiga ini sesuai dengan
pendapat. P. Octavianus. Ia menyatakan rintangan kebudayan merupakan pengahalang utama bagi penginjilan.
Itulah sebabnya, kita harus membawa Injil itu kepada orang yang belum percaya
tanpa perlu menambah-nambahi dengan “syarat-syarat atau cara kekristenan yang
terikat kepada si utusan Injil” (Octavianus 1985:35,54).
Kita harus ingat bahwa persoalan “sinkretisme”
tidak hanya terjadi kalau kita menyesuaikan diri terlalu banyak sehingga arti
Injil itu menjadi kabur, tetapi juga bila Injil itu disampaikan bersama dengan
kebudayaan si penginjil itu sehingga dianggap asing oleh pendengarnya. Hal
seperti ini pun dapat menimbulkan masalah “sinkretisme” sebab dalam pemikiran
para pendengarnya Injil itu dicampur dengan unsur-unsur asing (dari penginjil)
sehingga mengaburkan makna dari Injil itu sendiri.[4]
INKARNASI YESUS SEBAGAI DASAR
PELAYANAN KONTEKSTUAL[5]
a. Inkarnasi
Yesus dalam Konteks Hebraic
Inkarnasi Yesus Kristus ke dalam konteks budaya Hebraic
yang utuh merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam
budaya manusia. Inkarnasi Yesus Kristus adalah penyataan Allah yang utuh dalam
budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat Allah (Yoh :14,18).
Inkarnasi Yesus ini disebut sebagai puncak kontekstualisasi Allah, keabsahan
inkarnasi Allah melalui firman-Nya ke dalam konteks sejarah-budaya seperti yang
telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Ini hanya memberikan tekanan kepada
ketotalan kontekstualisasi Allah, dan merupakan tonggak bagi kontekstualisasi
selanjutnya dalam pekerjaan misi.
Berikut penjelasan untuk memahami inkarnasi Kristus yang adalah dasar bagi
kontekstualisasi maka akan diuraikan dua sub-pokok, yaitu: Hakikat Inkarnasi,
Inkarnasi, dan transformasi.
1. Hakikat
Inkarnasi
Arti dari inkarnasi ialah menjadi
daging atau menjadi manusia. Yohanes 1:14 mengatakan, “Firman itu telah menjadi
manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya.” Logos
menjadi manusia mempunyai implikasi yang luas. Ini berarti lahir ke dunia
sebagai manusia, hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks
budaya manusia, dst.nya – singkatnya, berpadu dengan hakekat manusia secara
utuh. Dengan demikian, inkarnasi melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan
manusia secara utuh dalam lingkup sosial budaya manusia. Namun, perlu disadari
bahwa inkarnasi Kristus terjadi bukan untuk tujuan inkarnasi itu sendiri,
melainkan untuk menyatakan Allah kepada dunia (Yoh. 1:18). Di sini perlu
ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki tujuan misional, untuk membuktikan
kasih Allah kepada dunia (Yoh. 3:16), bagi pembebasan dunia itu sendiri (Yoh.
1:29).
Pada kenyataan lain, “menjadi
manusia menempatkan Logos (Yesus Kristus) yang adalah penyataan Allah itu dalam
seluruh kerangka sosio-budaya Hebraic tempat Ia berinkarnasi.
Untuk budaya dalam konteks sejarah, mengenal dan dikenal dalam bentuk, arti,
dan fungsi setiap elemen budaya, dan dalam posisi-Nya inilah Ia menyatakan
Allah kepada dunia. Dalam hal ini, tergambar jelas bahwa inkarnasi yang
sempurna ini menandakan proses kontekstualisasi Allah terjadi secara utuh
sempurna dalam konteks sejarah manusia.
Kristus, dalam inkarnasi-Nya
mengambil seluruh aspek budaya manusia dan menggunakannya sebagai wahana misi,
menyatakan kehendak Allah yang kekal kepada dunia melalui konteks budaya tempat
ia ada. Yesus dikenal sebagai orang Galilea (Luk. 23:5-7), Ia berasal dari
Nazaret (Mat. 2:22,23; Luk. 18:37), semua orang mengenal Dia dan keluarga-Nya
(Mat. 13:55-56; Mar 6:1,3; Luk. 4:16). Dalam kaitannya dengan kehadiran-Nya di
dalam konteks budaya Hebraic ini Yesus tetap menggunakan seluruh elemen
budaya dalam menyatakan Allah kepada dunia. Berulang-ulang Ia menegaskan tujuan
kedatangan-Nya, “...melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Ia datang untuk melayani, dengan memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:45, band. Mat. 20:17-19;
Luk. 18:31-34). Dengan mengidentifikasikan diri sebagai Anak Manusia (Mrk.
10:45; Luk 18:31,dst.), Yesus menekankan solidaritas penuh dengan manusia dalam
inkarnasi. Pada sisi lain, istilah ini secara fungsional sangat dikenal oleh
konteks tempat Ia berada, dan mengkomunikasikan arti/makna khusus kepada mereka
melalaui bentuk budaya yang dipakai-Nya. Hal yang sama juga terlihat dalam
penggunaan istilah lain, seperti Anak Domba Allah (Yoh. 1:29, dst.). Hanya
orang dalam konteks Yesus memahami dengan persis maksud Kristus Yesus, dalam
penggunaan bentuk-bentuk budaya mereka untuk mengkomunikasikan kebenaran Allah.
Dalam pada itu, Yesus juga
menggunakan metode pendekatan yang kontekstual dalam menjawab kebutuhan
masyarakat di sekitar-Nya. Ia menggunakan bentuk sastra Hebraic Parables sebagai
wahana fasilitas kebenaran (ingat seluruh perumpamaan yang digunakan Yesus).
Dan menggunakan bentuk elemen yang kontekstual dan familier dalam masyarakat.
Di antara petani Ia menggunakan terminologi pertanian (penabur, bibit, penuai,
ladang, dsb.nya). Di antara para nelayan Ia menggunakan terminologi nelayan,
seperti pukat/jala, ikan, perahu, dan sebagainya, sementara mujizat-mujizat
yang dilakukan adalah untuk menyatakan penyataan Allah yang penuh kuasa atas
kuasa lain yang dikenal dalam masyarakat. Penyaliban-Nya di salib pun
mengkomunikasikan kebenaran Allah dan penyataan diri-Nya, sehingga ada
pengakuan atas Kristus yang tersalib itu, “Sungguh, Ia adalah Anak Allah” (Mat.
27:54).
Petrus bahkan
melihat kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus ke Surga sebagai kenyataan
kontekstualisasi yang utuh, yang sambil berpadu dengan budaya menyatakan
rencana Allah yang kekal (Kis 2:22-40), yaitu rencana penyelamatan Allah
melalaui inkarnasi Kristus secara tegas mengacu kepada penyataan - diri Allah –
yang dikenal dalam pola budaya – dan terlihat melalui interaksi dan refleksi
peserta budaya yang terkait kepada inkarnasi itu. Inilah kontekstualisai Allah
yang utuh melalui inkarnasi Kristus dalam konteks manusia.
2. Inkarnasi dan
Transformasi
Yang memberikan isi bagi inkarnasi
Kristus dalam budaya manusia ialah transformasi yang terjadi dalam dan pada
pusat budaya Hebraic tempat Ia berada. Kuasa transformasi itu bekerja
dengan pasti, karena Kristus datang dengan tugas transformasi itu sendiri (Luk.
4:18-19; band. 2Kor. 5:17; Why. 21:5).
Ajaran-ajaran-Nya (band. Mat 5,6,7;
Luk 6:20-36; 11:2-4; 12:22-31; 6:37-38,41-42, dll.) mengandung dinamika
transformasi yang pasti. Ambil saja contoh ajaran-Nya tentang “sinar” dibandingkan
dengan praktik masyarakat (Mat. 5:27-30). Ia masuk melalui pola konsep dan
logika yang dikenal dalam praktek budaya, untuk akhirnya membawa transformasi.
Transformasi dalam inkarnasi Kristus
ini tidak terbatas pada ajaran/konsep, bahkan masuk lebih jauh, yaitu
“transformasi hidup” manusia. Yesus mentransformasi hidup cendekiawan Nikodemus
(Yoh. 3), dan perempuan tunasusila dari Samaria (Yoh. 4), bahkan salib-Nya
mengadakan transformasi hidup “penjahat kakap” kepada pembaharuan sejati (Luk.
23:34, 39-43). Secara tegas inkarnasi bertujuan transformatoris, dan
transformasi adalah isi inkarnasi; sehingga tidak ada inkarnasi Kristus tanpa
transformasi, yang secara dinamis mebarui manusia dalam setiap konteks budaya
kepada Allah (2Kor. 5:17).
Transformasi ditandai oleh adanya morphe
(perubahan di dalam) dan schema (pembaharuan inti hakekat
kemanusiaan). Perubahan dan pembaharuan tampak dalam ekspresi praksis kehidupan
Kristen (lih. Rm. 12:1,2). Dengan tegas dapat dikatakan bahwa transformasi
terjadi di dalam dan dari dalam hidup manusia dalam setiap konteks, apabila
Injil berinkarnasi dalam konteks tersebut. Di sini transformasi melebihi
pendidikan yang datang dari luar, dan sering hanya menyentuh unsur kognitif
(intelektual) manusia. Transformasi membarui dari dalam menyentuh seluruh aspek
kemanusiaan, memberi hakekat kemanusiaan yang baru (Yoh. 1:12) serta perspektif
baru untuk hidup hanya bagi Kejayaan Kristus.
Namun, yang perlu diperhatikan ialah
bahwa transformasi itu bukanlah evolusi yang ditandai oleh perombakan yang bisa
membawa akibat ketidakseimbangan hidup pribadi dan
masyarakat.
Dengan demikian, transformasi yang dimaksudkan di sini menekankan
perubahan/pembaharuan hidup pribadi/masyarakat yang harus terjadi dalam
inkarnasi Injil ke dalam suatu budaya, tanpa merusak kerangka budaya itu.
Inkarnasi Kristus berisi
transformasi dan kontekstualisasi yang benar ditandai oleh transformasi Kristus
dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul sinkretisme, dsb.nya. Transformasi
yang terjadi harus memperlihatkan keseimbangan dalam kehidupan tempat Injil
beroperasi. Kontektualisasi yang benar terjadi dalam dua arah, “inkarnasi” dan
“refleksi”, yang dihubungkan oleh transformasi Kristus, dan ini akan membawa
dampak perubahan seimbang.
PRINSIP-PRINSIP RASUL PAULUS
DALAM
PELAYANAN KONTEKSTUAL[6]
Paulus dalam pemberitaan Injil bersifat
keras dan dogmatis. “Jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu Injil,
yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia” (Gal. 1:9).
Berita Injil bersifat kekal dan tak berubah.
Namun dalam konteks yang berbeda,
berita itu harus dikomunikasikan dengan cara yang berbeda. Jadi, sementara
Paulus dogmatis dan teologis, tetapi ia fleksibel dalam
metodologinya. Ia menunjukkan suatu kerinduan yang dalam bagi kebenaran dan
suatu komitmen bagi relevansi Injil. Paulus adalah model dari pelaku
kontekstualisasi.
Dalam 1 Korintus 9:19-23 dapat
digambarkan sebagai “Magna Carta” dari kontekstualisasi yang menyimpulkan
prinsip-prinsip Paulus dan mendefinisikan dengan jelas apa yang Alkitab ajarkan
tentang kontekstualisasi.
“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku
menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak
mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi,
supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah
hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat,
sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan
mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di
bawah hukum Taurat aku menjadi seperti oarang yang tidak hidup di bawah hukum
Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di
bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di
luar hukum Taurat. Bagi orang –orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang
lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku
telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa
orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya
aku mendapat bagian dalamnya.”
Analisis
struktural dari ayat-ayat ini menyatakan tiga hal yang penting. Paulus
menggambarkan maksud, prinsip-prinsip dan parameter-parameter dari
kontekstualisasi. Pertama ia menunjukkan maksud dari kontekstualisasi:
penginjilan.
v Supaya aku boleh
memenangkan sebanyak mungkin orang
v Supaya aku
memenangkan orang-orang Yahudi
v Supaya aku dapat
memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat
v Supaya aku dapat
memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat
v Supaya aku dapat
menyelamatkan mereka yang lemah
v Supaya aku
sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka
Maksud Paulus
adalah sederhana dan langsung: untuk memenangkan jiwa bagi Kristus.
Prinsip
kontekstualisasi Paulus
Paulus
menggambarkan prinsip kontekstualisasi: Indentifikasi. Ia berketetapan hati
untuk “menjadi seperti”[7]
orang yang hendak ia jangkau. Lima kali, Paulus mengulang komitmennya untuk
mengidentifikasi dirinya dengan orang lain. Ia menyebutkan empat kelompok orang
tertentu dan kemudian menyimpulkan dengan suatu kalimat kesimpulan.
v Aku menjadi
seperti orang Yahudi
v Aku menjadi
seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat
v Aku menjadi
seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat
v Aku menjadi
seperti orang yang lemah
v Aku telah
menjadi segala-galanya
Bagaimana
caranya Paulus, rasul kepada orang-orang kafir (Rm. 11:13), menjadi seperti
orang Yahudi bagi orang Yahudi? Contoh yang paling mencolok terdapat dalam
Kisah Para Rasul 16 dan 21.
Ada tiga cara
kontekstualisasi, yaitu prinsip-prinsip memakai, mengubah, dan
membuang. Tiga petunjuk penuntun ini merupakan sumbangan ilmu misiologi.
J.H. Bavink, ahli misiologi menulis sebagai berikut: “Orang-orang Kristen harus
mengambil pemilihan sah dari adat istiadat dan kebudayaan-kebudayaan yang
memberi kepadanya pengertian-pengertian serta isi baru dan yang mengarahkan mereka
untuk pelayanan bagi Kristus…Adalah tidak pernah mudah untuk memutuskan apakah
suatu adat atau kebiasaan boleh dipertahankan atau harus ditolak”[8]
Dan menurut Gilliland “Tugas kontekstualisasi ialah mengetahui apa yang dapat
dipergunakan [dari kebudayaan], apa yang harus ditolek dan oleh kaih karunia
Allah, apa yang harus ditransformasikan”.[9]
a. Memakai
Memakai
berarti semua atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap dipertahankan.
Setiap kebudayaan mempunyai beberapa unsure yang netral.
Contoh: Penggunaan kopiah, sarung, kebaya, duduk
dilantai, penggunaan alat-alat musik tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam
pemberitaan Injil, dan lainnya.
b. Mengubah
Yang
dimaksud dengan mengubah ialah memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang dapat
ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan sesuai dengan firman-Nya.
Seperti yang dicanagkan oleh Ikrar Lausanne pasal 10: ”Gereja-gereja harus
berusaha untuk mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu bagi
kemuliaan Allah.”
Contoh: “Selamatan” atau “hajatan” dapat diubah
inti selamatannya tetapi cara duduk dan alat-alat tetap dapat digunakan.
c. Membuang
Semua
hal yang tidak cocok dengan firman Allah dan yang tidak mungkin dimurnikan
harus dibuang. Misalnya, poligami, upacara-upacara sembahyang untuk orang mati,
dan bentuk-bentuk lain yang berhubugan dengan kuasa kegelapan, seperti
praktek-praktek spritisme dan animisme.
KRISTUS DAN BUDAYA
Sangat penting untuk memiliki pandangan Alkitabiah bukan hanya tentang
Kristus tetapi juga budaya. Pelayan lintas budaya atau kontekstual harus
mengenali bahwa setiap budaya memiliki unsur-unsur ketertiban Ilahi dan
pemberontakan setan; setiap budaya memiliki potensi untuk menyatakan kebenaran
Allah.
H. Richard Niebuhr telah
menggolongkan lima pandangan tentang relasi antara Kristus dan budaya yang
diambil oleh bermacam-macam teolog:[10]
1.
Kristus
melawan budaya (radikal) -yaitu, Kristus adalah otoritas tunggal; klaim
dari budaya harus ditolak. Pandangan
ini menekankan pertentangan antara Kristus dan kebudayaan dengan dasar ayat
dari 1 Yohanes 2:15-16. Sikap ini menekankan bahwa iman sangat bertentangan
dengan budaya. Budaya berasal dari bawah, dari bumi, bahkan dari setan,
sedangkan gereja berasal dari atas, dari surga, bahkan dari Tuhan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu
kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan
dikalahkan oleh iman kepada Kristus.
2.
Kristus
dari budaya (akomodatif) - yaitu, sistem Kristen tidak berbeda jenis
dengan budaya tetapi hanya dalam kualitas; yang terbaik dari budaya harus
diseleksi untuk menyesuaikan diri dengan Kristus. Pandangan
ini bersikap positif terhadap budaya, tidak ada pertentangan antara iman dan
budaya. Tidak ada ketegangan
besar antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara
karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui
Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sangat sesuai
dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus
ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan
adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan
sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan
yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan
adat istiadat sosial.
3.
Kristus
di atas budaya (sintetik) - Sikap ini
sebenarnya merupakan bagian dari sikap kedua. Dalam sikap ini baik iman maupun
budaya diterima sebagai kesatuan yang saling mengisi, iman mengatasi budaya
tetapi iman tidak menghapus budaya, melainkan budaya diintegrasikan ke dalam
iman. Pandangan ini berawal
dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani).
Menurut Thomas
Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan social yang
ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal
sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang
dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum
Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan
itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo supernaturalis).
Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki, berikan kepada orang
miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak boleh mencuri,
yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari
contoh
itu Thomas
Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat
hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis. Manusia dalam hidupnya sudah
kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannyakembali hanyalah
melalui sakraman. Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu
kebudayaan berada di bawah hirarkis gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan
gereja menguasai seluruh kebudayaan
4.
Kristus
dan budaya berada dalam paradoks (dualistik) – yaitu, keduanya
adalah penguasa untuk ditaati dan karena itu orang percaya hidup dengan
ketegangan ini. Sikap ini merupakan variasi dari sikap kedua,
namun kebalikan dari sikap ketiga. Di sini
orang mengakui bahwa hidup dalam dua dunia, dunia yang pertama adalah
kerajaan Allah, dunia yang kedua adalah masyarakat. Orang Kristen adalah warga
masyarakat sekaligus warga kerajaan Allah. Tetapi keduanya tidak ada
sangkut-paut apapun.
5.
Kristus
sebagai transformator budaya-yaitu, budaya merefleksikan keadaan manusia
sudah jatuh ke dalam dosa; di dalam Kristus, umat manusia ditebus dan budaya
dapat diperbarui kembali memuliakan Allah dan memajukan tujuan-tujuan-Nya. Sikap ini mengakui bahwa budaya telah dicemari
oleh dosa dan tidak semua hal di dunia ini baik-baik saja, bahkan yang terbaik
dari manusia pun tetap penuh dengan dosa, tetapi orang beriman harus yakin
bahwa Kristus sudah menang atas dosa dan bahwa Roh Kudus bekerja membaharui dan
mentransformasi budaya dan adat istiadat. Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap
gereja pengubah kebudayaan. Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah
mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari
pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena
itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat,tapi ia
menjadi jahat karena dirusak.
Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi
manusia dalam pribadi dan sosial mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari
pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allah tetap menggunakan
dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga manusia dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat
wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak
untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan
kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya
dosa manusia. Dengan jalan Injilnya Ia memulihkan apa yang telah rusak dan
memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah rusak. Atas pemikiran teologis
tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injil
adalah Conversionis terhadap
kebudayaan.
Analisa Niebuhr sangat mengandung
pelajaran dan berguna jika beberapa golongan yang dia kemukakan tidak diambil
secara kaku dan wakil-wakilnya tidak dianggap bersifat antagonistik satu sama
lain dalam setiap keadaan yang sebenarnya. Masalah utama dengan Niebuhr adalah
bahwa dia menempatkan penulis-penulis dan tulisan-tulisan Alkitab berselisih
satu sama lain. Dari sudut pandang alkitabiah nampaknya terdapat beberapa nilai
dalam hal penekanan yang termasuk golongan satu, empat, dan lima dan, sangat
mungkin tiga.
Dalam mempelajari hubungan antara
Allah dan Budaya, David W. Myers telah memodifikasi model Niebuhr, seperti pada
bagan berikut:
Dari bagan tersebut jelas bahwa
telah terjadi pergeseran mendasar pola hubungan antara Kristus dan Budaya,
diawali dari Kristus melawan (aktif) terhadap budaya, menjadi berlawanan
(pasif), lalu transformasi terhadap budaya, Kristus di atas budaya, dan terakhir
menjadi budaya Kristen.
Tiga Mandat
Ketika Allah menciptakan laki-laki
dan perempuan pertama dan lingkungan sekitar mereka, Dia menyatakan segala
sesuatu “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Allah memberikan satu mandat
budaya kepada Adam dan Hawa, yang meminta kepenguasaan atas lingkungan
sekitar mereka (Kej. 1:26-30). Tetapi, Allah tidak menarik diri dari tempat
tersebut. Demikian pula Dia tidak berhenti menjadi Allah. Sebaliknya, Dia terus
memelihara, dan bersekutu dengan para makhluk-Nya. Kita tidak tahu berapa lama
keadaan yang penuh kebahagiaan itu berlangsung, tetapi hal itu disela oleh
peristiwa KEJATUHAN. Dan peristiwa KEJATUHAN meninggalkan bekas pada ciptaan,
makhluk, dan budaya (Kej. 3:14-19). Pengharapan umat manusia terletak pada
janji tentang “Benih dari seorang perempuan” yang akan meremukkan kepala ular.
Kemudian, umat manusia secara
kolektif gagal dengan buruk sekali seperti Adam dan Hawa telah gagal secara
individual, di mana akibatnya Allah menyatakan hukuman atas manusia, binatang,
dan tanah (Kej. 6:6-7). Setelah air bah, Nuh dan keluarganya menerima
janji-janji dan satu mandat sosial yang berlaku bagi mereka dan
keturunan mereka sampai generasi sesudahnya (Kej. 8:21-9:17).
Dalam relasi umat manusia dengan
Allah mendahului dan menentukan seluruh relasi lainnya. Dalam pengertian ini
agama yang benar mendahului budaya, bukan hanya bagian dari budaya. Saat
mendengarkan si pengambil alih kuasa dan memilih untuk tidak mentaati Allah,
manusia mengundang dosa atas semua yang adalah dia dan semua yang dia sentuh.
Peristiwa KEJATUHAN tidak mengakibatkan penghapusan imago dei di dalam makhluk tersebut maupun dalam
pembatalan seluruh hak istimewa budaya. Tetapi hal ini sungguh menempatkan
penguasa lainnya dan penguasa palsu atas manusia dan hal ini sungguh merusak
umat manusia dan hasil-hasil mereka. Hanya di bawah Kristus, manusia dapat
ditebus dan budaya diperbarui.
Mandat Injil (Mat. 28:18-20) menghendaki agar para
misionari mengajar orang lain untuk mamatuhi semua yang telah diperintahkan
Kristus. Dalam mengajar, para misionari menyentuh budaya dan untunglah
demikian-karena seluruh budaya membutuhkan perubahan dalam motivasi jika
tidak dalam misi. Jika apa pun juga nyata di dalam dunia kita, ini adalah
bahwa Allah telah menahbiskan budaya tetapi tidak memerintahkan
kebudayaan manusia. Setan adalah sungguh “ilah zaman ini” (2Kor. 4:4). Oleh
karena itu, sebagaimana dipertahankan Calvin, orang-orang percaya harus bekerja
untuk menjadikan budaya Kristen (yaitu, di bawah Kristus) atau setidaknya
kondusif untuk (yaitu, memperbolehkan kesempatan maksimum untuk) kehidupan
Kristen.[11]
Perjanjian Lausanne mengatakannya
dengan baik:
budaya harus selalu diuji dan dinilai oleh Kitab
Suci (Mrk.. 7:8,9,13).
Karena manusia adalah makhluk Allah, beberapa dari
budayanya adalah
kaya dalam keindahan dan kebaikan (Mat. 7:11; Kej.
4:21,22).
Karena dia sudah jatuh dalam dosa, seluruh budaya
dicemari
dengan dosa dan
beberapa di antaranya adalah jahat. Injil tidak mengandung
arti bahwa tidak ada budaya superior dari budaya
yang lain, tetapi mengevaluasi
seluruh budaya berdasarkan kriterianya sendiri
mengenai kebenaran
kebenaran dan keadailan, dan bertahan pada hal-hal
moral yang mutlak di
dalam setiap budaya.[12]
Misionari terlibat di dalam proses ini
secara langsung maupun tidak langsung. Dia mungkin berusaha untuk tinggal di
atas garis budaya dan hanya berhadapan dengan masalah-masalah jiwa. Tetapi
usaha itu sama sis-sianya seperti usaha ilmuwan sosial untuk menyingkirkan
Allah dari dunianya dan menjelaskan kekristenan di dalam pengertian kebudayaan
saja. Pertama, misionari tidak dapat berkomunikasi tanpa melibatkan
dirinya dengan budaya karena komunikasi tidak memungkinkan melepas diri dari
budaya. Sama seperti Kristus menjadi daging dan diam diantara manusia, dengan
demikian kebenaran yang proporsional harus memiliki sebuah inkarnasi budayaal
agar menjadi berarti. Kedua, misionari tidak dapat mengomunikasikan kekristenan
tanpa melibatkan dirinya dengan budaya karena, meskipun kekristenan
bersifat suprabudayaal dalam asal usulnya dan kebenarannya, kekristenan
bersifat budayaal dalam aplikasinya.
Donald A. McGavran menulis sebuah
buku berjudul The Clash Between Christianity and Cultures, untuk
menanggapi kontoversi mengenai nilai relatif yang seharusnya diberikan kepada
budaya dalam teori misi. Di dalam buku itu dia berusaha untuk memecahkan
perdebatan “tinggi-rendah” dalam sebuah cara yang logis dan Alkitabiah.
Bagi orang Kristen, pertanyaan
tersebut datang untuk memilih satu atau lainnya dari empat posisi yang mungkin:
- Sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang rendah mengenai budaya.
- Sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya dan sebuah pandangan yang rendah mengenai Alkitab.
- Sebuah pandangan yang rendah mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang rendah mengenai budaya.
- Sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya.[13]
McGavran mendorong para misionari
untuk mengambil pilihan keempat: sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab
dan sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya. Melalui “pandangan yang
tinggi mengenai Alkitab” McGavran mengartikan bahwa “keseluruhan Alkitab”-Kitab
Suci kanonikal dari Perjanjian Lama dan Baru - adalah Firman Allah. Alkitab
berwenang dan menuntut iman dan ketaatan kepada seluruh pernyataannya. Melalui
“pandangan yang tinggi mengenai budaya” dia mengartikan bahwa setiap budaya
adalah “layak diberikan lingkungan yang spesifik di mana budaya itu
telah berkembang.” Dia kemudian menjelaskan bahwa hal ini tidak berarti
bahwa semua komponen dari sebuah budaya tertentu harus dianggap sebagai benar
tetapi hanya, asalkan kita memahami situasi dimana mereka berkembang,
mereka dapat dianggap sebagai layak. Maka, “bentrokkan” yang dimaksudkan
McGavran bukanlah antara kekristenan dan budaya begitu saja, tetapi antara
kekristenan dan komponen-komponen budaya yang spesifik.
REFLEKSI
Kiai Sadrach adalah fenomena dalam
kekristenan di Jawa pada awal abad ke-20. Ia adalah seorang Jawa dengan
pendidikan dan pengetahuan tentang agama Kristen yang sangat terbatas dapat
mendirikan gereja melampau siapapun pada masa itu. Meskipun dalam pelayanannya
mendapat hambatan dari zending dan dari pemerintah namun setelah kurang dari 10
tahun, pada tahun 1898 berhasil mendirikan 70 gereja dengan anggota jemaat
sekitar 7000 jiwa. Capaian Kiai Sadrach tersebut berbeda dengan raihan seorang
misionari bernama Vermeer yang melayani di Pekalongan dan Tegal mulai pada
tahun1861, yang kemudian berpindah pelayanan ke Keresidenan Banyumas
bekerjasama dengan gereja yang sudah dilayani oleh Nyonya Oostrom. Selama 10
tahun pelayanannya misionari Vermeer hanya berhasil mengkristenkan sekitar 10
orang. [14]
Mengapa Kiai Sadrach lebih berhasil dalam pelayanan
pertumbuhan gereja? Karena Kiai Sadrach sejak awal melakukan pendekatan
pelayanan yang berbeda dengan para misionari. Kiai Sadrach sangat menguasai dan
menghargai kebudayaan Jawa dan menjadikan kebudayaan Jawa sebagai bungkus Injil
Yesus Kristus yang diimaninya. Jadi
kontekstualisasi merupakan cara khas kekristenan yang dikembangkan oleh Kiai
Sadrach.
Penyebaran
agama dengan kontekstual juga telah terbukti berhasil mengislamkan tanah Jawa.
Tanah Jawa menjadi mayoritas beragama Islam oleh karena dakwah yang dilakukan
oleh Wali Sanga. Tanah Jawa yang sebelumnya beragama Hindu dan Budha (atau
kepercayaan lain) kemudian berubah menjadi Islam.
Jadi
mengapa pelayanan kita tidak menggunakan cara-cara yang kontekstual?
[1]Budiman R.L., Pelayanan Lintas Budaya
dan Kontektualisasi, (tth),
hal.1-4.
[2]Nampaknya tidak ada istilah yang ideal
untuk proses menyesuaikan pesan Kristen pada
orang-orang dari kebudayaan lain. J.H Bavinck
menolak istilah akomodasi (dan adaptasi) karena kata ini
“mengandung suatu arti penolakan atau suatu perusakan.” Apa pun juga yang asli
bagi suatu kebudayaan “berakar di dalam” atau “alamiah bagi” kebudayaan itu.
Oleh karena itu, akar Indigenisasi mungkin menyesatkan bahwa kata tersebut
mengandung arti terlalu banyak. Bagaimanapun juga, Injil tidaklah alamiah bagi
kebudayaan manapun. Inkulturasi- ”proses melepaskan unsur-unsur
suprakultural Injil dari satu kebudayaan dan mengontekstualisasikannya dalam
bentuk kultural dan lembaga-lembaga sosial dari kebudayaan lain, dengan
sedikitnya beberapa tingkatan transformasi dari bentuk dan lembaga-lembaga itu”
- merupakan suatu istilah yang berguna, tetapi istilah ini mengambil pemahaman
yang lazim dari “mengontekstualisasi” dan, bagaimanapun juga, tidak mencapai
pemakaian yang umum. Bruce C. E. Fleming keberatan terhadap istilah baru kontekstualisasi.
Dia berpikir bahwa kata tersebut begitu dicemari oleh presuposisi (mensyaratkan)
teologia liberal sehingga akan menjadi lebih baik untuk memakai istilah konteks-indigenisasi.
James O. Buswel III menerima istilah
kontekstualisasi tetapi merasa bahwa hal ini tidak perlu menunjukkan
suatu perbaikan dari istilah-istilah
yang lebih lama yaitu indigenous (asli, pribumi), indigeneity, dan indigenisasi dalam
setiap keadaan yang sebenarnya (Lihat David J. Hesselgrave, Communicating
CHRIST Cross-Culturally (Mengomunikasikan Kristus secara Lintas
Budaya)Pendahuluan ke Komunikasi Misionari (Malang, Literatur SAAT, 2005).
[3]Lihat ulasan tentang latar belakang istilah
kontekstualisasi dalam Y. Tomatala, Teologi
Kontekstualisasi
(Suatu Pengantar), (Malang,
Gandum Mas, 1993), hal. 2-7.
[4]Budiman, hal.10-13.
[5]Diambil dari Y. Tomatala, Teologi
Kontekstualisasi (Suatau Pengantar), (Malang,
Gandum Mas,
1993), hal. 22-26.
[6]
Rick Love, Kerajaan Allah dan Muslim
Tradisional, (Pasadena, William Carey
Library, tth), hal.49-54.
[7]Frase “menjadi seperti” menunjukkan bahwa
identifikasinya adalah total. Ia tidak
menjadi
seorang Yahudi bagi orang-orang Yahudi. Ia menjadi seperti orang Yahudi.
[8] J.H.
Bavink, An Introduction to the Science of
Missions, (Philadelfia, The Presbyterian
and Reformed Publishing Co., 1960), hal 175-179,190
yang dikutip oleh Budiman, hal.42.
[9] Deand
S. Gilliland, The Word Among Us, (Waco,
Word Books Publisher, 1989), hal.
25 dikutip oleh Budiman, hal.42.
[10]Bagian
ini diringkas dari buku Niebuhr berjudul
Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta,
Petra Jaya,
1951), buku asli H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New
York: Harper & Row,
Harper Torchbooks, 1956).
[11]Band.
Henry R. Van Til, The Calvinistic Concept of Culture (Philadelphia:Presbyterian
and Reformed, 1959).
[12]J.D
Douglas, ed., Let the Earth Hear His Voice (Minneapolis: World Wide,
1975), hal.
6-7.
[13]Tentang pandangan-pandangan ini baca
penjelasan C. Peter Wagner, Di Atas Puncak
Gelombang,
Menjadi Seorang Kristen Dunia, (Jakarta, Harves Pub;ication Houset, 1996), hal.
64,65.
Wagner mendukung pandangan yang keempat seperti pendapat yang disampaikan oleh
McGavran.
[14]Edi
Suranta Ginting, Pelayanan Gereja yang
Kontekstual (Bandung, Trinaus, 2010), hal.
34-35 dengan mengutip dua sumber buku C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa,
(Jakarta, Gramedia, 1985) dan Sutarman Soediman
Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar
Kontekstualnya (Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar