Senin, 05 Oktober 2015

Pelayanan Kontekstual



PELAYANAN KONTEKSTUAL
Iskak Sugiyarto


LATAR BELAKANG

            Indonesia dikenal dengan keanekaragaman kebudayaan dan ratusan suku yang tersebar di ribuan pulau. Di antara pulau-pulau di Indonesia, pulau Bali mungkin paling terkenal akan kekayaan adatnya, keseniannya, dan tariannya, namun sebenarnya setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas, selain kaya dalam tradisi serta keindahan alamnya. Namun, di balik semua senyum, kesenian, dan keanekaragaman kebudayaan itu ada banyak orang yang hidup tanpa harapan dan tanpa memiliki Juruselamat. Banyak suku terhalang di balik tembok yang tak tampak serta dinding pemisah kebudayaan yang menganggap bahwa kekristenan ialah agama asing, agama penjajah atau sesuatu yang diimpor dari Barat.
            Menurut Amanat Agung, kita diperintahkan untuk melintasi pemisah budaya itu untuk menjangkau semua suku ini. Yang dimaksudkan dengan istilah “bangsa” ialah suku bangsa (ethnic group). Kata bangsa mengandung arti etnis atau suku dalam Alkitab. Jadi sebaiknya, Amanat Agung itu dibaca atau ditafsirkan demikian: “Jadikanlah semua suku bangsa (ta ethne) murid-Ku.” [1]
Orang Kristen menganggap bahwa tujuan Allah untuk menjangkau dunia ini hanya berdasarkan Amanat Agung yang diberikan kepada jemaat Kristus dalam Matius 28:18-20; Markus 16:15-18; Lukas 24:44-49; Yohanes 20:21; Kisah Para Rasul 1:8. Memang lima nas itu merupakan dasar yang kokoh untuk penginjilan dunia. Namun demikian, pandangan ini masih kurang lengkap sebab tidak mencakup seluruh isi firman Allah. Dari Kitab Kejadian sampai Kitab Wahyu misi Allah untuk memberkati semua suku ditekankan berulangkali. Misalnya, lima kali dalam kitab pertama dari Alkitab, tujuan Allah bagi suku-suku bangsa diungkapkan. Setelah Kejatuhan manusia ke dalam dosa, Allah mengungkapkan rencana-Nya untuk memberkati semua suku oleh perjanjian-Nya dengan Abraham.
      “Olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3)
      “Oleh dia segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat” (Kej. 18:18)
      “Oleh keturunanmulah semua bangsa...akan mendapat berkat” (Kej. 22:18; 26:4)
      “Olehmu...semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 28:14)

Rencana Allah bagi semua suku bangsa juga menjadi tema yang penting dalam Kitab Mazmur.
      “Beritakanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa” (Mzm. 9:12)
      “Kiranya Allah...memberkati kita...supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa” (Mzm. 67:2,3)
      “Segala bangsa yang Kau jadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu” (Mzm. 86:9)
      “Ceritakanlah kemualian-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya...di antara segala suku bangsa” (Mzm. 96:3)
      “Pujilah TUHAN, hai segala suku bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa!” (Mzm. 117:1)

Tujuan Allah untuk memberkati semua suku bangsa juga jelas terlihat dalam pemberitaan para nabi dalam Perjanjian Lama.
      “Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa” (Yes. 49:6)
      “Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa: (Yes. 56:7)
      “Aku akan membuat kuasa kemuliaan-Ku berlaku atas bangsa-bangsa” (Yes. 39:21)
      “Orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepada-Nya [Sang Mesias]” (Dan. 7:14)
      “Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari Nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa” (Mal. 1:11).

            Dari ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pelayanan lintas budaya merupakan suatu keharusan, sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Kita harus melintasi jurang pemisah kebudayaan dan memberitakan Injil kepada segala suku bangsa jika kita ingin menjadi murid-murid yang taat kepada kehendak Allah yang tersingkap dalam Firman-Nya.


TEOLOGI KONTEKSTUAL DALAM TEOLOGI PENGINJILAN

            Setiap gereja atau orang Kristen yang taat kepada Amanat Agung harus melibatkan diri dalam pelayanan lintas budaya dengan memakai kontekstualisasi.[2] Istilah kontekstual sendiri telah digunakan secara populer dalam dunia pendidikan teologi pada dekade-dekade akhir abad XX ini.[3] Tetapi sebelum dapat melaksanakannya dengan tepat kontekstualisasi, kita seharusnya mengerti teologi kebudayaan, yaitu yang diajarkan dalam Firman Allah tentang kebudayaan. Bagaimana Allah sendiri memandang keanekaragaman kebudayaan manusia?
            Penjelasan yang paling singkat dan seksama terdapat dalam Ikrar Lausanne tahun 1974 (Wagner, tth:173-183). Pada tahun 1974 di Lausanne, Swiss diadakan suatu konferensi internasional mengenai penginjilan dunia. Tokoh-tokoh Kristen seluruh dunia dipimpin oleh Billy Graham berkumpul untuk bertukar pikiran dan menggumuli berbagai soal berkaitan dengan penginjilan. Mereka menyusun suatu ikrar mengenai penginjilan. Dalam pasal 10 ikrar itu tertulis:

10. Pekabaran Injil Dan Kebudayaan:
Perkembangan strategi untuk penginjilan dunia menuntut visi dan
metode-metode baru. Di bawah bimbingan Allah, akan timbul
gereja-gereja yang berakar di dalam Kristus dan erat hubungan dengan
 kebudayaannya. Kebudayaan memiliki keindahan dan kebaikan.
Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, maka seluruh kebudayaannya
dinodai oleh dosa dan sebagian lagi dikuasai roh jahat. Injil tidak
menganggap kebudayaan yang satu lebih unggul daripada yang lain,
tetapi Injil menilai semua kebudayaan menurut ukuran kebenaran dan
keadilannya sendiri, dan menuntut moral yang tinggi dalam setiap kebudayaan.
Badan-badan pekabaran Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing
bersama dengan Injil, dan gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada
kebudayaan daripada Alkitab. Penginjil-penginjil Kristus harus rendah hati mengosongkan dirinya dari segala sesuatu, kecuali keaslian kepribadiannya,
untuk menjadi pelayan bagi orang lain, dan gereja-gereja harus berusaha
mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu dilakukan
demi kemuliaan Allah. (Mrk. 7:8,9,13; Kej. 4:21,22; 1Kor. 9:19-23;
Flp. 2:5-7; 2Kor. 4:5).

Ikrar ini sedikitnya memaparkan tiga pokok yang terpenting tentang teologi kebudayaan:
v  Kebudayaan memiliki dimensi ilahi dan dimensi setani.
v  Tidak ada suatu kebudayan yang lebih unggul dari kebudayaan yang lain.
v  Kita harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apa pun.

            Pertama, pasal 10 ini menjabarkan bahwa kebudayaan memiliki dua dimensi. Keanekaragaman kebudayaan manusia memiliki unsur-unsur positif dan negatif, unsur-unsur ilhai dan setani. Kebudayaan manusia penuh dengan keindahan dan kebaikan sekaligus dinodai oleh dosa dan dikuasai Iblis.
            Kedua, pasal 10 ini mengajarkan bahwa tidak ada “kebudayaan yang lebih unggul daripada yang lain”. Sadar atau tidak, pada umumnya, para penginjil cenderung menganggap bahwa kebudayaan mereka lebih baik daripada kebudayan para penerima. Tetapi menurut Firman Allah, kita tidak boleh bermegah tentang adat kita sendiri. Kita hanya boleh bermegah tentang Yesus, Pencipta dan Hakim adat kita.
            Ketiga, pasal 10 ini memaparkan bahwa kita harus mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apapun. “Badan-badan pekabar Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing ke dalam Injil dan gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada kebudayaan dari Alkitab.” Kita harus memberitakan Injil semata tanpa tambahan tata ibadah tertentu atau kebudayaan yang berasal dari si pemberita Injil.
            Harvie Conn, ahli misiologi dari Westminster Theological Seminary, menggambarkan proses ini sebagai berikut. Menurutnya kontekstualisasi adalah “seni menabur benih Injil dalam beraneka ragam kebudayaan tanpa membawa potnya” (Conn 1982:12). Dalam definisi ini, “pot” yang biasanya dibawa si penginjil itu melambangkan kebudayaan, adat, dan tradisinya.
            Pokok ketiga ini sesuai dengan pendapat. P. Octavianus. Ia menyatakan rintangan kebudayan merupakan pengahalang utama bagi penginjilan. Itulah sebabnya, kita harus membawa Injil itu kepada orang yang belum percaya tanpa perlu menambah-nambahi dengan “syarat-syarat atau cara kekristenan yang terikat kepada si utusan Injil” (Octavianus 1985:35,54).
            Kita harus ingat bahwa persoalan “sinkretisme” tidak hanya terjadi kalau kita menyesuaikan diri terlalu banyak sehingga arti Injil itu menjadi kabur, tetapi juga bila Injil itu disampaikan bersama dengan kebudayaan si penginjil itu sehingga dianggap asing oleh pendengarnya. Hal seperti ini pun dapat menimbulkan masalah “sinkretisme” sebab dalam pemikiran para pendengarnya Injil itu dicampur dengan unsur-unsur asing (dari penginjil) sehingga mengaburkan makna dari Injil itu sendiri.[4]


INKARNASI YESUS SEBAGAI DASAR
PELAYANAN KONTEKSTUAL[5]

a. Inkarnasi Yesus dalam Konteks Hebraic
            Inkarnasi Yesus Kristus ke dalam konteks budaya Hebraic yang utuh merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam budaya manusia. Inkarnasi Yesus Kristus adalah penyataan Allah yang utuh dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat Allah (Yoh :14,18). Inkarnasi Yesus ini disebut sebagai puncak kontekstualisasi Allah, keabsahan inkarnasi Allah melalui firman-Nya ke dalam konteks sejarah-budaya seperti yang telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Ini hanya memberikan tekanan kepada ketotalan kontekstualisasi Allah, dan merupakan tonggak bagi kontekstualisasi selanjutnya dalam pekerjaan misi.
Berikut penjelasan untuk memahami inkarnasi Kristus yang adalah dasar bagi kontekstualisasi maka akan diuraikan dua sub-pokok, yaitu: Hakikat Inkarnasi, Inkarnasi, dan transformasi.




1. Hakikat Inkarnasi
            Arti dari inkarnasi ialah menjadi daging atau menjadi manusia. Yohanes 1:14 mengatakan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya.” Logos menjadi manusia mempunyai implikasi yang luas. Ini berarti lahir ke dunia sebagai manusia, hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya manusia, dst.nya – singkatnya, berpadu dengan hakekat manusia secara utuh. Dengan demikian, inkarnasi melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia secara utuh dalam lingkup sosial budaya manusia. Namun, perlu disadari bahwa inkarnasi Kristus terjadi bukan untuk tujuan inkarnasi itu sendiri, melainkan untuk menyatakan Allah kepada dunia (Yoh. 1:18). Di sini perlu ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki tujuan misional, untuk membuktikan kasih Allah kepada dunia (Yoh. 3:16), bagi pembebasan dunia itu sendiri (Yoh. 1:29).
            Pada kenyataan lain, “menjadi manusia menempatkan Logos (Yesus Kristus) yang adalah penyataan Allah itu dalam seluruh kerangka sosio-budaya Hebraic tempat Ia berinkarnasi. Untuk budaya dalam konteks sejarah, mengenal dan dikenal dalam bentuk, arti, dan fungsi setiap elemen budaya, dan dalam posisi-Nya inilah Ia menyatakan Allah kepada dunia. Dalam hal ini, tergambar jelas bahwa inkarnasi yang sempurna ini menandakan proses kontekstualisasi Allah terjadi secara utuh sempurna dalam konteks sejarah manusia.
            Kristus, dalam inkarnasi-Nya mengambil seluruh aspek budaya manusia dan menggunakannya sebagai wahana misi, menyatakan kehendak Allah yang kekal kepada dunia melalui konteks budaya tempat ia ada. Yesus dikenal sebagai orang Galilea (Luk. 23:5-7), Ia berasal dari Nazaret (Mat. 2:22,23; Luk. 18:37), semua orang mengenal Dia dan keluarga-Nya (Mat. 13:55-56; Mar 6:1,3; Luk. 4:16). Dalam kaitannya dengan kehadiran-Nya di dalam konteks budaya Hebraic ini Yesus tetap menggunakan seluruh elemen budaya dalam menyatakan Allah kepada dunia. Berulang-ulang Ia menegaskan tujuan kedatangan-Nya, “...melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Ia datang untuk melayani, dengan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:45, band. Mat. 20:17-19; Luk. 18:31-34). Dengan mengidentifikasikan diri sebagai Anak Manusia (Mrk. 10:45; Luk 18:31,dst.), Yesus menekankan solidaritas penuh dengan manusia dalam inkarnasi. Pada sisi lain, istilah ini secara fungsional sangat dikenal oleh konteks tempat Ia berada, dan mengkomunikasikan arti/makna khusus kepada mereka melalaui bentuk budaya yang dipakai-Nya. Hal yang sama juga terlihat dalam penggunaan istilah lain, seperti Anak Domba Allah (Yoh. 1:29, dst.). Hanya orang dalam konteks Yesus memahami dengan persis maksud Kristus Yesus, dalam penggunaan bentuk-bentuk budaya mereka untuk mengkomunikasikan kebenaran Allah.
            Dalam pada itu, Yesus juga menggunakan metode pendekatan yang kontekstual dalam menjawab kebutuhan masyarakat di sekitar-Nya. Ia menggunakan bentuk sastra Hebraic Parables sebagai wahana fasilitas kebenaran (ingat seluruh perumpamaan yang digunakan Yesus). Dan menggunakan bentuk elemen yang kontekstual dan familier dalam masyarakat. Di antara petani Ia menggunakan terminologi pertanian (penabur, bibit, penuai, ladang, dsb.nya). Di antara para nelayan Ia menggunakan terminologi nelayan, seperti pukat/jala, ikan, perahu, dan sebagainya, sementara mujizat-mujizat yang dilakukan adalah untuk menyatakan penyataan Allah yang penuh kuasa atas kuasa lain yang dikenal dalam masyarakat. Penyaliban-Nya di salib pun mengkomunikasikan kebenaran Allah dan penyataan diri-Nya, sehingga ada pengakuan atas Kristus yang tersalib itu, “Sungguh, Ia adalah Anak Allah” (Mat. 27:54).
Petrus bahkan melihat kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus ke Surga sebagai kenyataan kontekstualisasi yang utuh, yang sambil berpadu dengan budaya menyatakan rencana Allah yang kekal (Kis 2:22-40), yaitu rencana penyelamatan Allah melalaui inkarnasi Kristus secara tegas mengacu kepada penyataan - diri Allah – yang dikenal dalam pola budaya – dan terlihat melalui interaksi dan refleksi peserta budaya yang terkait kepada inkarnasi itu. Inilah kontekstualisai Allah yang utuh melalui inkarnasi Kristus dalam konteks manusia.

2. Inkarnasi dan Transformasi
            Yang memberikan isi bagi inkarnasi Kristus dalam budaya manusia ialah transformasi yang terjadi dalam dan pada pusat budaya Hebraic tempat Ia berada. Kuasa transformasi itu bekerja dengan pasti, karena Kristus datang dengan tugas transformasi itu sendiri (Luk. 4:18-19; band. 2Kor. 5:17; Why. 21:5).
            Ajaran-ajaran-Nya (band. Mat 5,6,7; Luk 6:20-36; 11:2-4; 12:22-31; 6:37-38,41-42, dll.) mengandung dinamika transformasi yang pasti. Ambil saja contoh ajaran-Nya tentang “sinar” dibandingkan dengan praktik masyarakat (Mat. 5:27-30). Ia masuk melalui pola konsep dan logika yang dikenal dalam praktek budaya, untuk akhirnya membawa transformasi.
            Transformasi dalam inkarnasi Kristus ini tidak terbatas pada ajaran/konsep, bahkan masuk lebih jauh, yaitu “transformasi hidup” manusia. Yesus mentransformasi hidup cendekiawan Nikodemus (Yoh. 3), dan perempuan tunasusila dari Samaria (Yoh. 4), bahkan salib-Nya mengadakan transformasi hidup “penjahat kakap” kepada pembaharuan sejati (Luk. 23:34, 39-43). Secara tegas inkarnasi bertujuan transformatoris, dan transformasi adalah isi inkarnasi; sehingga tidak ada inkarnasi Kristus tanpa transformasi, yang secara dinamis mebarui manusia dalam setiap konteks budaya kepada Allah (2Kor. 5:17).
            Transformasi ditandai oleh adanya morphe (perubahan di dalam) dan schema (pembaharuan inti hakekat kemanusiaan). Perubahan dan pembaharuan tampak dalam ekspresi praksis kehidupan Kristen (lih. Rm. 12:1,2). Dengan tegas dapat dikatakan bahwa transformasi terjadi di dalam dan dari dalam hidup manusia dalam setiap konteks, apabila Injil berinkarnasi dalam konteks tersebut. Di sini transformasi melebihi pendidikan yang datang dari luar, dan sering hanya menyentuh unsur kognitif (intelektual) manusia. Transformasi membarui dari dalam menyentuh seluruh aspek kemanusiaan, memberi hakekat kemanusiaan yang baru (Yoh. 1:12) serta perspektif baru untuk hidup hanya bagi Kejayaan Kristus.
            Namun, yang perlu diperhatikan ialah bahwa transformasi itu bukanlah evolusi yang ditandai oleh perombakan yang bisa membawa akibat ketidakseimbangan hidup pribadi dan
masyarakat. Dengan demikian, transformasi yang dimaksudkan di sini menekankan perubahan/pembaharuan hidup pribadi/masyarakat yang harus terjadi dalam inkarnasi Injil ke dalam suatu budaya, tanpa merusak kerangka budaya itu.
            Inkarnasi Kristus berisi transformasi dan kontekstualisasi yang benar ditandai oleh transformasi Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul sinkretisme, dsb.nya. Transformasi yang terjadi harus memperlihatkan keseimbangan dalam kehidupan tempat Injil beroperasi. Kontektualisasi yang benar terjadi dalam dua arah, “inkarnasi” dan “refleksi”, yang dihubungkan oleh transformasi Kristus, dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang.


PRINSIP-PRINSIP RASUL PAULUS DALAM
PELAYANAN KONTEKSTUAL[6]

            Paulus dalam pemberitaan Injil bersifat keras dan dogmatis. “Jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu Injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia” (Gal. 1:9). Berita Injil bersifat kekal dan tak berubah.
            Namun dalam konteks yang berbeda, berita itu harus dikomunikasikan dengan cara yang berbeda. Jadi, sementara Paulus dogmatis dan teologis, tetapi ia fleksibel dalam metodologinya. Ia menunjukkan suatu kerinduan yang dalam bagi kebenaran dan suatu komitmen bagi relevansi Injil. Paulus adalah model dari pelaku kontekstualisasi.
            Dalam 1 Korintus 9:19-23 dapat digambarkan sebagai “Magna Carta” dari kontekstualisasi yang menyimpulkan prinsip-prinsip Paulus dan mendefinisikan dengan jelas apa yang Alkitab ajarkan tentang kontekstualisasi.

“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti oarang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di luar hukum Taurat. Bagi orang –orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.” 

            Analisis struktural dari ayat-ayat ini menyatakan tiga hal yang penting. Paulus menggambarkan maksud, prinsip-prinsip dan parameter-parameter dari kontekstualisasi. Pertama ia menunjukkan maksud dari kontekstualisasi: penginjilan.
v  Supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang
v  Supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi
v  Supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat
v  Supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat
v  Supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah
v  Supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka

Maksud Paulus adalah sederhana dan langsung: untuk memenangkan jiwa bagi Kristus.

Prinsip kontekstualisasi Paulus
            Paulus menggambarkan prinsip kontekstualisasi: Indentifikasi. Ia berketetapan hati untuk “menjadi seperti”[7] orang yang hendak ia jangkau. Lima kali, Paulus mengulang komitmennya untuk mengidentifikasi dirinya dengan orang lain. Ia menyebutkan empat kelompok orang tertentu dan kemudian menyimpulkan dengan suatu kalimat kesimpulan.
v  Aku menjadi seperti orang Yahudi
v  Aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat
v  Aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat
v  Aku menjadi seperti orang yang lemah
v  Aku telah menjadi segala-galanya

Bagaimana caranya Paulus, rasul kepada orang-orang kafir (Rm. 11:13), menjadi seperti orang Yahudi bagi orang Yahudi? Contoh yang paling mencolok terdapat dalam Kisah Para Rasul 16 dan 21.
Ada tiga cara kontekstualisasi, yaitu prinsip-prinsip memakai, mengubah, dan membuang. Tiga petunjuk penuntun ini merupakan sumbangan ilmu misiologi. J.H. Bavink, ahli misiologi menulis sebagai berikut: “Orang-orang Kristen harus mengambil pemilihan sah dari adat istiadat dan kebudayaan-kebudayaan yang memberi kepadanya pengertian-pengertian serta isi baru dan yang mengarahkan mereka untuk pelayanan bagi Kristus…Adalah tidak pernah mudah untuk memutuskan apakah suatu adat atau kebiasaan boleh dipertahankan atau harus ditolak”[8] Dan menurut Gilliland “Tugas kontekstualisasi ialah mengetahui apa yang dapat dipergunakan [dari kebudayaan], apa yang harus ditolek dan oleh kaih karunia Allah, apa yang harus ditransformasikan”.[9]

a. Memakai
            Memakai berarti semua atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap dipertahankan. Setiap kebudayaan mempunyai beberapa unsure yang netral.
Contoh: Penggunaan kopiah, sarung, kebaya, duduk dilantai, penggunaan alat-alat musik tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan Injil, dan lainnya.

b. Mengubah
            Yang dimaksud dengan mengubah ialah memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditransformasikan supaya berkenan kepada Allah dan sesuai dengan firman-Nya. Seperti yang dicanagkan oleh Ikrar Lausanne pasal 10: ”Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu bagi kemuliaan Allah.”
Contoh: “Selamatan” atau “hajatan” dapat diubah inti selamatannya tetapi cara duduk dan alat-alat tetap dapat digunakan.

c. Membuang
            Semua hal yang tidak cocok dengan firman Allah dan yang tidak mungkin dimurnikan harus dibuang. Misalnya, poligami, upacara-upacara sembahyang untuk orang mati, dan bentuk-bentuk lain yang berhubugan dengan kuasa kegelapan, seperti praktek-praktek spritisme dan animisme.


KRISTUS DAN BUDAYA

Sangat penting untuk memiliki pandangan Alkitabiah bukan hanya tentang Kristus tetapi juga budaya. Pelayan lintas budaya atau kontekstual harus mengenali bahwa setiap budaya memiliki unsur-unsur ketertiban Ilahi dan pemberontakan setan; setiap budaya memiliki potensi untuk menyatakan kebenaran Allah.
            H. Richard Niebuhr telah menggolongkan lima pandangan tentang relasi antara Kristus dan budaya yang diambil oleh bermacam-macam teolog:[10]
                  1.            Kristus melawan budaya (radikal) -yaitu, Kristus adalah otoritas tunggal; klaim dari budaya harus ditolak. Pandangan ini menekankan pertentangan antara Kristus dan kebudayaan dengan dasar ayat dari 1 Yohanes 2:15-16. Sikap ini menekankan bahwa iman sangat bertentangan dengan budaya. Budaya berasal dari bawah, dari bumi, bahkan dari setan, sedangkan gereja berasal dari atas, dari surga, bahkan dari Tuhan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus.
                  2.            Kristus dari budaya (akomodatif) - yaitu, sistem Kristen tidak berbeda jenis dengan budaya tetapi hanya dalam kualitas; yang terbaik dari budaya harus diseleksi untuk menyesuaikan diri dengan Kristus.  Pandangan ini bersikap positif terhadap budaya, tidak ada pertentangan antara iman dan budaya. Tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sangat sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial.
                  3.            Kristus di atas budaya (sintetik) - Sikap ini sebenarnya merupakan bagian dari sikap kedua. Dalam sikap ini baik iman maupun budaya diterima sebagai kesatuan yang saling mengisi, iman mengatasi budaya tetapi iman tidak menghapus budaya, melainkan budaya diintegrasikan ke dalam iman. Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani).
Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan social yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh
itu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis. Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannyakembali hanyalah melalui sakraman. Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkis gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan
                  4.            Kristus dan budaya berada dalam paradoks (dualistik)yaitu, keduanya adalah penguasa untuk ditaati dan karena itu orang percaya hidup dengan ketegangan ini.  Sikap ini merupakan variasi dari sikap kedua, namun kebalikan dari sikap ketiga. Di sini  orang mengakui bahwa hidup dalam dua dunia, dunia yang pertama adalah kerajaan Allah, dunia yang kedua adalah masyarakat. Orang Kristen adalah warga masyarakat sekaligus warga kerajaan Allah. Tetapi keduanya tidak ada sangkut-paut apapun.
                  5.            Kristus sebagai transformator budaya-yaitu, budaya merefleksikan keadaan manusia sudah jatuh ke dalam dosa; di dalam Kristus, umat manusia ditebus dan budaya dapat diperbarui kembali memuliakan Allah dan memajukan tujuan-tujuan-Nya. Sikap ini mengakui bahwa budaya telah dicemari oleh dosa dan tidak semua hal di dunia ini baik-baik saja, bahkan yang terbaik dari manusia pun tetap penuh dengan dosa, tetapi orang beriman harus yakin bahwa Kristus sudah menang atas dosa dan bahwa Roh Kudus bekerja membaharui dan mentransformasi budaya dan adat istiadat. Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan. Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat,tapi ia menjadi jahat karena dirusak.
Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allah tetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia. Dengan jalan Injilnya Ia memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah rusak. Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan.

            Analisa Niebuhr sangat mengandung pelajaran dan berguna jika beberapa golongan yang dia kemukakan tidak diambil secara kaku dan wakil-wakilnya tidak dianggap bersifat antagonistik satu sama lain dalam setiap keadaan yang sebenarnya. Masalah utama dengan Niebuhr adalah bahwa dia menempatkan penulis-penulis dan tulisan-tulisan Alkitab berselisih satu sama lain. Dari sudut pandang alkitabiah nampaknya terdapat beberapa nilai dalam hal penekanan yang termasuk golongan satu, empat, dan lima dan, sangat mungkin tiga.
            Dalam mempelajari hubungan antara Allah dan Budaya, David W. Myers telah memodifikasi model Niebuhr, seperti pada bagan berikut:


            Dari bagan tersebut jelas bahwa telah terjadi pergeseran mendasar pola hubungan antara Kristus dan Budaya, diawali dari Kristus melawan (aktif) terhadap budaya, menjadi berlawanan (pasif), lalu transformasi terhadap budaya, Kristus di atas budaya, dan terakhir menjadi budaya Kristen.

Tiga Mandat
            Ketika Allah menciptakan laki-laki dan perempuan pertama dan lingkungan sekitar mereka, Dia menyatakan segala sesuatu “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Allah memberikan satu mandat budaya kepada Adam dan Hawa, yang meminta kepenguasaan atas lingkungan sekitar mereka (Kej. 1:26-30). Tetapi, Allah tidak menarik diri dari tempat tersebut. Demikian pula Dia tidak berhenti menjadi Allah. Sebaliknya, Dia terus memelihara, dan bersekutu dengan para makhluk-Nya. Kita tidak tahu berapa lama keadaan yang penuh kebahagiaan itu berlangsung, tetapi hal itu disela oleh peristiwa KEJATUHAN. Dan peristiwa KEJATUHAN meninggalkan bekas pada ciptaan, makhluk, dan budaya (Kej. 3:14-19). Pengharapan umat manusia terletak pada janji tentang “Benih dari seorang perempuan” yang akan meremukkan kepala ular.
            Kemudian, umat manusia secara kolektif gagal dengan buruk sekali seperti Adam dan Hawa telah gagal secara individual, di mana akibatnya Allah menyatakan hukuman atas manusia, binatang, dan tanah (Kej. 6:6-7). Setelah air bah, Nuh dan keluarganya menerima janji-janji dan satu mandat sosial yang berlaku bagi mereka dan keturunan mereka sampai generasi sesudahnya (Kej. 8:21-9:17).
            Dalam relasi umat manusia dengan Allah mendahului dan menentukan seluruh relasi lainnya. Dalam pengertian ini agama yang benar mendahului budaya, bukan hanya bagian dari budaya. Saat mendengarkan si pengambil alih kuasa dan memilih untuk tidak mentaati Allah, manusia mengundang dosa atas semua yang adalah dia dan semua yang dia sentuh. Peristiwa KEJATUHAN tidak mengakibatkan penghapusan imago dei  di dalam makhluk tersebut maupun dalam pembatalan seluruh hak istimewa budaya. Tetapi hal ini sungguh menempatkan penguasa lainnya dan penguasa palsu atas manusia dan hal ini sungguh merusak umat manusia dan hasil-hasil mereka. Hanya di bawah Kristus, manusia dapat ditebus dan budaya diperbarui.
            Mandat Injil  (Mat. 28:18-20) menghendaki agar para misionari mengajar orang lain untuk mamatuhi semua yang telah diperintahkan Kristus. Dalam mengajar, para misionari menyentuh budaya dan untunglah demikian-karena seluruh budaya membutuhkan perubahan dalam motivasi jika tidak dalam misi. Jika apa pun juga nyata di dalam dunia kita, ini adalah bahwa Allah telah menahbiskan budaya tetapi tidak memerintahkan kebudayaan manusia. Setan adalah sungguh “ilah zaman ini” (2Kor. 4:4). Oleh karena itu, sebagaimana dipertahankan Calvin, orang-orang percaya harus bekerja untuk menjadikan budaya Kristen (yaitu, di bawah Kristus) atau setidaknya kondusif untuk (yaitu, memperbolehkan kesempatan maksimum untuk) kehidupan Kristen.[11]
            Perjanjian Lausanne mengatakannya dengan baik:
budaya harus selalu diuji dan dinilai oleh Kitab Suci (Mrk.. 7:8,9,13).
Karena manusia adalah makhluk Allah, beberapa dari budayanya adalah
kaya dalam keindahan dan kebaikan (Mat. 7:11; Kej. 4:21,22).
Karena dia sudah jatuh dalam dosa, seluruh budaya dicemari
                dengan dosa dan beberapa di antaranya adalah jahat. Injil tidak mengandung
arti bahwa tidak ada budaya superior dari budaya yang lain, tetapi mengevaluasi
seluruh budaya berdasarkan kriterianya sendiri mengenai kebenaran
kebenaran dan keadailan, dan bertahan pada hal-hal moral yang mutlak di
dalam setiap budaya.[12]

            Misionari terlibat di dalam proses ini secara langsung maupun tidak langsung. Dia mungkin berusaha untuk tinggal di atas garis budaya dan hanya berhadapan dengan masalah-masalah jiwa. Tetapi usaha itu sama sis-sianya seperti usaha ilmuwan sosial untuk menyingkirkan Allah dari dunianya dan menjelaskan kekristenan di dalam pengertian kebudayaan saja. Pertama, misionari tidak dapat berkomunikasi tanpa melibatkan dirinya dengan budaya karena komunikasi tidak memungkinkan melepas diri dari budaya. Sama seperti Kristus menjadi daging dan diam diantara manusia, dengan demikian kebenaran yang proporsional harus memiliki sebuah inkarnasi budayaal agar menjadi berarti. Kedua, misionari tidak dapat mengomunikasikan kekristenan tanpa melibatkan dirinya dengan budaya karena, meskipun kekristenan bersifat suprabudayaal dalam asal usulnya dan kebenarannya, kekristenan bersifat budayaal dalam aplikasinya.
            Donald A. McGavran menulis sebuah buku berjudul The Clash Between Christianity and Cultures, untuk menanggapi kontoversi mengenai nilai relatif yang seharusnya diberikan kepada budaya dalam teori misi. Di dalam buku itu dia berusaha untuk memecahkan perdebatan “tinggi-rendah” dalam sebuah cara yang logis dan Alkitabiah.
            Bagi orang Kristen, pertanyaan tersebut datang untuk memilih satu atau lainnya dari empat posisi yang mungkin:
  1. Sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang rendah mengenai budaya.
  2. Sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya dan sebuah pandangan yang rendah mengenai Alkitab.
  3. Sebuah pandangan yang rendah mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang rendah mengenai budaya.
  4. Sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya.[13]

            McGavran mendorong para misionari untuk mengambil pilihan keempat: sebuah pandangan yang tinggi mengenai Alkitab dan sebuah pandangan yang tinggi mengenai budaya. Melalui “pandangan yang tinggi mengenai Alkitab” McGavran mengartikan bahwa “keseluruhan Alkitab”-Kitab Suci kanonikal dari Perjanjian Lama dan Baru - adalah Firman Allah. Alkitab berwenang dan menuntut iman dan ketaatan kepada seluruh pernyataannya. Melalui “pandangan yang tinggi mengenai budaya” dia mengartikan bahwa setiap budaya adalah “layak diberikan lingkungan yang spesifik di mana budaya itu telah berkembang.” Dia kemudian menjelaskan bahwa hal ini tidak berarti bahwa semua komponen dari sebuah budaya tertentu harus dianggap sebagai benar tetapi hanya, asalkan kita memahami situasi dimana mereka berkembang, mereka dapat dianggap sebagai layak. Maka, “bentrokkan” yang dimaksudkan McGavran bukanlah antara kekristenan dan budaya begitu saja, tetapi antara kekristenan dan komponen-komponen budaya yang spesifik.
           

REFLEKSI

            Kiai Sadrach adalah fenomena dalam kekristenan di Jawa pada awal abad ke-20. Ia adalah seorang Jawa dengan pendidikan dan pengetahuan tentang agama Kristen yang sangat terbatas dapat mendirikan gereja melampau siapapun pada masa itu. Meskipun dalam pelayanannya mendapat hambatan dari zending dan dari pemerintah namun setelah kurang dari 10 tahun, pada tahun 1898 berhasil mendirikan 70 gereja dengan anggota jemaat sekitar 7000 jiwa. Capaian Kiai Sadrach tersebut berbeda dengan raihan seorang misionari bernama Vermeer yang melayani di Pekalongan dan Tegal mulai pada tahun1861, yang kemudian berpindah pelayanan ke Keresidenan Banyumas bekerjasama dengan gereja yang sudah dilayani oleh Nyonya Oostrom. Selama 10 tahun pelayanannya misionari Vermeer hanya berhasil mengkristenkan sekitar 10 orang. [14]
           
Mengapa Kiai Sadrach lebih berhasil dalam pelayanan pertumbuhan gereja? Karena Kiai Sadrach sejak awal melakukan pendekatan pelayanan yang berbeda dengan para misionari. Kiai Sadrach sangat menguasai dan menghargai kebudayaan Jawa dan menjadikan kebudayaan Jawa sebagai bungkus Injil Yesus Kristus yang diimaninya.  Jadi kontekstualisasi merupakan cara khas kekristenan yang dikembangkan oleh Kiai Sadrach.
            Penyebaran agama dengan kontekstual juga telah terbukti berhasil mengislamkan tanah Jawa. Tanah Jawa menjadi mayoritas beragama Islam oleh karena dakwah yang dilakukan oleh Wali Sanga. Tanah Jawa yang sebelumnya beragama Hindu dan Budha (atau kepercayaan lain) kemudian berubah menjadi Islam.
            Jadi mengapa pelayanan kita tidak menggunakan cara-cara yang kontekstual?


[1]Budiman R.L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontektualisasi, (tth), hal.1-4.
[2]Nampaknya tidak ada istilah yang ideal untuk proses menyesuaikan pesan Kristen pada
orang-orang dari kebudayaan lain. J.H Bavinck menolak istilah akomodasi (dan adaptasi) karena kata ini “mengandung suatu arti penolakan atau suatu perusakan.” Apa pun juga yang asli bagi suatu kebudayaan “berakar di dalam” atau “alamiah bagi” kebudayaan itu. Oleh karena itu, akar Indigenisasi mungkin menyesatkan bahwa kata tersebut mengandung arti terlalu banyak. Bagaimanapun juga, Injil tidaklah alamiah bagi kebudayaan manapun. Inkulturasi- ”proses melepaskan unsur-unsur suprakultural Injil dari satu kebudayaan dan mengontekstualisasikannya dalam bentuk kultural dan lembaga-lembaga sosial dari kebudayaan lain, dengan sedikitnya beberapa tingkatan transformasi dari bentuk dan lembaga-lembaga itu” - merupakan suatu istilah yang berguna, tetapi istilah ini mengambil pemahaman yang lazim dari “mengontekstualisasi” dan, bagaimanapun juga, tidak mencapai pemakaian yang umum. Bruce C. E. Fleming keberatan terhadap istilah baru kontekstualisasi. Dia berpikir bahwa kata tersebut begitu dicemari oleh presuposisi (mensyaratkan) teologia liberal sehingga akan menjadi lebih baik untuk memakai istilah konteks-indigenisasi.  James O. Buswel III menerima istilah kontekstualisasi tetapi merasa bahwa hal ini tidak perlu menunjukkan suatu perbaikan dari istilah-istilah  yang lebih lama yaitu indigenous (asli, pribumi), indigeneity, dan indigenisasi dalam setiap keadaan yang sebenarnya (Lihat David J. Hesselgrave, Communicating CHRIST Cross-Culturally (Mengomunikasikan Kristus secara Lintas Budaya)Pendahuluan ke Komunikasi Misionari (Malang, Literatur SAAT, 2005).

[3]Lihat ulasan tentang latar belakang istilah kontekstualisasi dalam Y. Tomatala, Teologi
Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), (Malang, Gandum Mas, 1993), hal. 2-7.
[4]Budiman, hal.10-13.

[5]Diambil dari Y. Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatau Pengantar), (Malang,
Gandum Mas, 1993), hal. 22-26.
[6] Rick Love, Kerajaan Allah dan Muslim Tradisional, (Pasadena, William Carey
Library, tth), hal.49-54.
[7]Frase “menjadi seperti” menunjukkan bahwa identifikasinya adalah total. Ia tidak
menjadi seorang Yahudi bagi orang-orang Yahudi. Ia menjadi seperti orang Yahudi.

[8] J.H. Bavink, An Introduction to the Science of Missions, (Philadelfia, The Presbyterian
and Reformed Publishing Co., 1960), hal 175-179,190 yang dikutip oleh Budiman, hal.42.

[9] Deand S. Gilliland, The Word Among Us, (Waco, Word Books Publisher, 1989), hal.
25 dikutip oleh Budiman, hal.42.

[10]Bagian ini diringkas dari buku Niebuhr berjudul Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta,
Petra Jaya, 1951), buku asli H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper & Row,
Harper Torchbooks, 1956).

[11]Band. Henry R. Van Til, The Calvinistic Concept of Culture (Philadelphia:Presbyterian
and Reformed, 1959).
[12]J.D Douglas, ed., Let the Earth Hear His Voice (Minneapolis: World Wide, 1975), hal.
6-7.

[13]Tentang pandangan-pandangan ini baca penjelasan C. Peter Wagner, Di Atas Puncak
Gelombang, Menjadi Seorang Kristen Dunia, (Jakarta, Harves Pub;ication Houset, 1996), hal.
64,65. Wagner mendukung pandangan yang keempat seperti pendapat yang disampaikan oleh
McGavran.
[14]Edi Suranta Ginting, Pelayanan Gereja yang Kontekstual (Bandung, Trinaus, 2010), hal.
34-35 dengan mengutip dua sumber buku C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa,
(Jakarta, Gramedia, 1985) dan Sutarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar
Kontekstualnya (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar