MENJADI HAMBA YANG
SETIA
MATIUS 25:14-30
Oleh Iskak Sugiyarto
Penulis
Tradisi
gereja sejak abad kedua menghubungkan Injil “pertama” ini dengan Matius. Para
ahli modern banyak yang berpendapat bahwa penulis injil pertama adalah rasul
Matius. Salah satu alasan yang diberikan ialah bahwa dalam daftar rasul pada
Matius 10:3.[1]
Lousi Berkhof berdasarkan kesaksian dari Irenaeus, Tertullian, Origen,
Eusebius, dan yang lain berpendapat bahwa penulis injil pertama ini menunjuk
kepada Matius. Hal itu terlihat dari ciri khas Yahudi bahkan dia itu orang
Yahudi Palestina, untuk itu dia mengutip dari Teks Ibrani dan tidak dari
Septuaginta.[2]
Tahun penulisan
Jika Matius menggunakan Injil Markus sebagai
sumbernya (Markus ditulis tahun 68), maka penulisan injil pertama ditulis
sesudah tahun 70, dengan demikian tahun 70 dapat disebut sebagai batas awal
penulisan. Sementara itu Ignatius dari Antiokhia yang menulis berbagai surat
pada tahun 110 sudah mengutip Injil Matius, tentu dibutuhkan cukup banyak waktu
sejak penulisan injil sampai injil tersebut diterima di Antiokhia dan oleh
orang-orang yang dikirimi surat tersebut. Dengan demikian tahun 110 dapat
diambil sebagai batas akhir penulisan.[3]
Beberapa petunjuk lain dapat dipakai untuk
mencari tahun penulisan secara lebih pasti. Penggambaran runtuhnya Yerusalem
(tahun 70 pada Matius 22:7 yang tidak terdapat pada teks sejajar Lukas 14:16-20)
dan penghapusan bagian kalimat “bagi segala bangsa” dari Markus (band. Markus
11:17 dengan Matius 21:13) oleh Matius berhubungan dengan Bait Allah di
Yerusalem, itu dapat diduga bahwa kehancuran Yerusalem beserta Bait Allah sudah
terjadi. Jika demikian dapat disimpulkan penulisan Matius dapat ditempatkan
pada tahun 80-90.[4]
Tempat penulisan tidak dapat ditentukan
dengan pasti, namun dengan mempertimbangkan ciri-ciri tulisan dengan pribadi
pengarang dapat diperkirakan bahwa injil Matius ditulis di daerah yang dihuni
sebagian besar oleh orang-orang Yahudi, dimana dipakai bahasa Yunani, dan tidak
terlalu jauh dari Yamnia (pusat Yudaisme sesudah Yerusalem hancur, terletak di
sebelah selatan Tel Aviv sekarang) yang biasa disebut Antiokhia atau Siria.[5]
John Drane dalam bukunya juga sepakat bahwa
penulisan injil Matius setelah jatuhnya Yerusalem.[6]
Tujuan penulisan
Injil Matius ditulis terutama untuk orang-orang
Yahudi Kristen. Mereka perlu dikuatkan dalam iman mereka yang baru dan dibantu
dalam mempertahankan iman melawan serangan orang-orang sebangsa mereka. Tulisan
ini secara tidak langsung juga ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang tetap
mempertahankan hukum yang lama, kalau-kalau mereka ini akan memikirkan kembali
ikatan mereka dengan Yudaisme.[7]
Penolakan oleh orang-orang Yahudi dan
pengaruh sekolah-sekolah Yahudi sangat besar
membahayakan orang-orang Kristen. Orang-orang Kristen harus membuka diri
dengan menunjukkan keselarasan pesan-pesan injil dengan Perjanjian Lama dan
membuktikan bahwa penolakan Yudasime terhadap Kristus tanpa dasar. Yesus yang
diceritakan oleh Matius mengajak dan memperingatkan untuk terus menerus
mempertahankan diri melawan Yudaisme[8]
Secara umum injil Matius adalah apologetis dan untuk menguatkan iman. Selain
itu juga berisi dorongan untuk melakukan misi kepada segala etnis yang belum
percaya kepada Yesus Kristus.[9]
Tafsiran (Isi)
Perumpamaan ini menceritakan bahwa ada seorang
kaya yang akan bepergian ke luar kota menitipkan talenta kepada hamba-hambanya.
Kata talenta merupakan kata kunci, namun perlu didefinisikan lagi karena saat
ini sudah dipahami dengan berbeda. Pengertian talenta (ταλαντον) mula-mula adalah
satuan berat emas, perak, dan lain-lain. Kemudian satuan uang yang tinggi
sekitar 5000-6000 denari, setara dengan jutaan rupiah. Dan di Yunani talenta
adalah satuan mata uang.[10]
Yesus
mengalamatkan percakapan tentang akhir zaman (pasal 24) kepada mur
id-rnurid-Nya dan melanjutkannya dengan beberapa perumpamaan yang berhubungan
dengan kedatangan-Nya kembali. Semua percakapan ini terjadi dua atau tiga hari
sebelum peringatan hari raya Paskah (Matius 26:2). Sebaliknya, di dalam Lukas
19:12-27 Lukas mencatat bahwa Yesus mengajarkan perumpamaan ten tang sepuluh
uang mina sesudah Dia meninggalkan Yerikho dan mendekati Yerusalem, sehari
sebelum atau pada hari Minggu Palem. Perumpamaan ten tang uang mina ini mirip
dengan perumpamaan tentang talenta, meskipun kedua perumpamaan ini tidak
identik. Berdasarkan latar belakang dan kerangka historis yang diberikan oleh
para penulis Injil, di samping jangkauan perumpamaan-perumpamaan tersebut, kita
percaya bahwa Yesus mengajarkan dua perumpamaan ini dalam dua kesempatan yang
berbeda.
Perumpamaan
tentang talenta merupakan perumpamaan yang paling panjang di dalam Injil
Matius. Di dalam bentuk yang agak rinci, perumpamaan ini berhubungan dengan
percakapan antara tuan dan hamba-hambanya. Dan perumpamaan tentang talenta ini
juga mempunyai kesimpulan yang agak panjang, yang mengikatnya dengan
perumpamaan-perumpamaan lainnya.
Secara garis besar perhitungan talenta
menunjukkan pada penghukuman, hadiah bagi yang menggandakan talenta (ayat
20-23) dan hukuman bagi hamba yang tidak melakukan apa-apa (24-30).
Kesiapsediaan terus menerus menuntut tindakan yang menghasilkan buah.[11]
Berikut secara singkat penjelasan hal-hal penting dalam perikop ini.
Dalam ayat 15 "talenta" yang disebut oleh Yesus
Kristus di sini berbicara tentang besaran-uang. Masing-masing hamba, diberikan
talenta yang berbeda menurut kesanggupannya. Talenta di sini melambangkan
tanggung jawab yang berbeda yang harus dijalankan sesuai dengan kemampuan
masing-masing orang. Hal ini menarik jika kita bandingkan dengan pengertian
"talenta" di zaman sekarang, bahwa "talenta" diartikan
dengan "bakat-alam" yang dimiliki seseorang. Kata talenta sudah
mengalami pergeseran.
Ayat 19-23, meskipun tidak dirujukkan berapa lama,
namun akhirnya tuan dari para hamba-hamba itu datang kembali. Hamba yang
pertama dan yang kedua berhasil meningkatkan talenta yang diberikan sebesar
100% dan menerima pujian dari tuannya : "Baik sekali perbuatanmu itu, hai
hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan
memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar". Sebagian dari upah terdiri atas penerimaan
tanggung-jawab dan kehormatan yang lebih besar dari tuan mereka : "Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan
(suka-cita) tuanmu" . Ini adalah ganjaran bagi orang percaya yang
selalu mengusahakan talenta yang diberikan, dengan ini mereka telah
melaksanakan kehendak Bapa dengan sempurna.
Ayat 24-25, Tetapi hamba yang tidak mengusahakan
talenta yang diberikan, dan yang tidak menghasilkan apa-apa menunjukkan
pemahaman yang salah sama sekali tentang tuannya. Malahan dia protes, hal itu
tampak dari penjelasan yang ia berikan. Hamba itu menyatakan bahwa tuannya
adalah "manusia yang kejam". Keras, kejam tidak berperikemanusiaan karena
tuannya itu "menuai dimana tuan tidak menabur', maksud hamba itu adalah bahwa tuannya itu
mengambil keuntungan dari hasil jerih-payah orang lain yaitu "memungut dari tempat di mana tuan tidak
menanam".
Hamba ini jelas menuduh tuannya sebagai tuan yang jahat. Alasan selanjutnya
juga ia paparkan bahwa ia takut mengambil resiko dan takut
mempertanggung-jawabkan kerugian yang mungkin terjadi, yang olehnya ia nanti
akan dihukum karena menyebabkan tuannya rugi. Rupanya hamba ini buta terhadap
kenyataan bahwa tuannya adalah tuan yang murah hati dan mengasihi, yang ingin
ia dapat hanyalah ikut menikmati kebahagiaan.
Ayat 26, Tuannya membalas dengan sebuah pertanyaan "jadi kamu sudah tahu…?" walaupun kalimat tersebut bukan mengakui
kebenaran pandangan hamba tersebut, namun Sang tuan ini sedang menilai sikap si
hamba ini berdasarkan dalih yang digunakannya untuk menunjukkan keengganannya
mengusahakan talenta yang diberikan.
Ayat 27-29, Apabila si hamba memang takut mengambil
resiko dari usaha/bisnis, maka seharusnya ia menabungkan uangnya (talentanya)
pada orang yang menjalankan uang (zaman sekarang : Bank) sehingga pasti
menghasilkan bunga. Karena itu talenta yang ada di tangan hamba yang malas dan
pemberontak ini diambil kembali dan kemudian diberikan kepada hamba yang paling
mampu memanfaatkan/ mengusahakan talenta itu.
Ayat 30, Resiko yang tadinya menjadi dalih hamba
yang malas dan pemberontak itu ternyata menimpanya : "Dan campakkanlah hamba yang tidak
berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat
ratap dan kertak gigi".
Ayat ini menunjukkan tentang hukuman yang abadi (lihat Matis 8:12; Matius
13:42,50; Matius 22:13; Matius 24:51).
Perumpamaan
tentang talenta mengajarkan bahwa hamba-hamba Tuhan harus setia dengan
melaksanakan apa yang dipercayakan kepada mereka dengan tepat dan efisien
sampai pada hari perhitungan. Seperti gadis-gadis pengiring pengantin
diharapkan untuk menunggu kedatangan mempelai laki-laki, demikian juga
harnba-hamba itu menunggu kedatangan tuannya. Meskipun perumpamaan tentang
gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh tidak mengatakan apapun
tentang bekerja selama mereka berjaga-jaga tiap malam, perumpamaan tentang
talenta mengajarkan bahwa hamba-hamba itu harus sibuk ketika tuannya tidak ada.
Kedua perumpamaan ini menunjukkan bahwa baik wanita maupun pria harus
berjaga-jaga sementara mereka menunggu kedatangan Tuhan.
Perumpamaan ini jelas
menunjukkan kepada kita bahwa kita harus mengusahakan "talenta" yang
diberikan Allah kepada kita. Jelas ini adalah sebuah pengajaran dengan
'perumpamaan' yang menunjukkan betapa perlunya menggunakan pemberian Allah
dengan sikap bertanggung-jawab dalam pelayanan kepada Allah pada saat tuan-kita
“tidak hadir”. Pemberian yang digambarkan dengan 'pemberian modal' ini bisa
kita artikan dengan 'IMAN' dan 'karunia / berkat' yang Allah berikan kepada
kita.
Maka manusia yang diberi
kesempatan rohani yang berbeda-beda harus menggunakan kesempatan itu, karena
bagi yang menggunakannya akan disebut sebagai hamba yang setia dan diberi kesempatan yang lain lagi (terutama
hidup yang akan datang). Bagi orang yang tidak menggunakan kesempatan
dan mengusahakan imannya itu akan dibuang (dihukum) karena ia adalah hamba yang
'tidak berguna'.[12]
Yesus Kristus akan
datang kembali, dan Ia menuntut tanggung-jawab pada kita semua terhadap penggunaan “iman” yang Ia berikan
kepada kita. Kita harus mengusahakan iman itu dan memperjuangkannya sampai
akhir nanti. AMIN.
[1] I. Suharyo Pr, Pengantar Injil Sinoptik (Yogyakarta: Kanisius, 1989) hal. 76
[2] Louis Berkhof, Introduction
to the New Testament, (Grand
Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library, 2004), 32
[3] Suharyo, hal. 77-78
[4] Ibid,
hal. 78
[5] Ibid,
hal. 79
[6] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Pengantar
Historis-Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hal. 220
[7] Suharyo, hal. 79
[8] Suharyo, hal. 79
[9] Suharyo, hal. 84
[10] sabda.com,
diunduh pada 12 Mei 2011
[11] Daniel J. Harrington Matius dalam Dianne Bergant
dan Robert J. Karris (ed.), Tafsir
Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 70-71
[12] Donald
Guthrie dkk (ed.) Tafsiran Alkitab Masa
Kini 3, Matius-Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1980), hal.
119