Jumat, 20 November 2015

MENJADI HAMBA YANG SETIA MATIUS 25:14-30



MENJADI HAMBA YANG SETIA
MATIUS 25:14-30
Oleh Iskak Sugiyarto



Penulis
Tradisi gereja sejak abad kedua menghubungkan Injil “pertama” ini dengan Matius. Para ahli modern banyak yang berpendapat bahwa penulis injil pertama adalah rasul Matius. Salah satu alasan yang diberikan ialah bahwa dalam daftar rasul pada Matius 10:3.[1] Lousi Berkhof berdasarkan kesaksian dari Irenaeus, Tertullian, Origen, Eusebius, dan yang lain berpendapat bahwa penulis injil pertama ini menunjuk kepada Matius. Hal itu terlihat dari ciri khas Yahudi bahkan dia itu orang Yahudi Palestina, untuk itu dia mengutip dari Teks Ibrani dan tidak dari Septuaginta.[2]

Tahun penulisan
Jika Matius menggunakan Injil Markus sebagai sumbernya (Markus ditulis tahun 68), maka penulisan injil pertama ditulis sesudah tahun 70, dengan demikian tahun 70 dapat disebut sebagai batas awal penulisan. Sementara itu Ignatius dari Antiokhia yang menulis berbagai surat pada tahun 110 sudah mengutip Injil Matius, tentu dibutuhkan cukup banyak waktu sejak penulisan injil sampai injil tersebut diterima di Antiokhia dan oleh orang-orang yang dikirimi surat tersebut. Dengan demikian tahun 110 dapat diambil sebagai batas akhir penulisan.[3]
Beberapa petunjuk lain dapat dipakai untuk mencari tahun penulisan secara lebih pasti. Penggambaran runtuhnya Yerusalem (tahun 70 pada Matius 22:7 yang tidak terdapat pada teks sejajar Lukas 14:16-20) dan penghapusan bagian kalimat “bagi segala bangsa” dari Markus (band. Markus 11:17 dengan Matius 21:13) oleh Matius berhubungan dengan Bait Allah di Yerusalem, itu dapat diduga bahwa kehancuran Yerusalem beserta Bait Allah sudah terjadi. Jika demikian dapat disimpulkan penulisan Matius dapat ditempatkan pada tahun 80-90.[4]
Tempat penulisan tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun dengan mempertimbangkan ciri-ciri tulisan dengan pribadi pengarang dapat diperkirakan bahwa injil Matius ditulis di daerah yang dihuni sebagian besar oleh orang-orang Yahudi, dimana dipakai bahasa Yunani, dan tidak terlalu jauh dari Yamnia (pusat Yudaisme sesudah Yerusalem hancur, terletak di sebelah selatan Tel Aviv sekarang) yang biasa disebut Antiokhia atau Siria.[5]
John Drane dalam bukunya juga sepakat bahwa penulisan injil Matius setelah jatuhnya Yerusalem.[6]

Tujuan penulisan
Injil Matius ditulis terutama untuk orang-orang Yahudi Kristen. Mereka perlu dikuatkan dalam iman mereka yang baru dan dibantu dalam mempertahankan iman melawan serangan orang-orang sebangsa mereka. Tulisan ini secara tidak langsung juga ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang tetap mempertahankan hukum yang lama, kalau-kalau mereka ini akan memikirkan kembali ikatan mereka dengan Yudaisme.[7]
Penolakan oleh orang-orang Yahudi dan pengaruh sekolah-sekolah Yahudi sangat besar  membahayakan orang-orang Kristen. Orang-orang Kristen harus membuka diri dengan menunjukkan keselarasan pesan-pesan injil dengan Perjanjian Lama dan membuktikan bahwa penolakan Yudasime terhadap Kristus tanpa dasar. Yesus yang diceritakan oleh Matius mengajak dan memperingatkan untuk terus menerus mempertahankan diri melawan Yudaisme[8] Secara umum injil Matius adalah apologetis dan untuk menguatkan iman. Selain itu juga berisi dorongan untuk melakukan misi kepada segala etnis yang belum percaya kepada Yesus Kristus.[9]

Tafsiran (Isi)
Perumpamaan ini menceritakan bahwa ada seorang kaya yang akan bepergian ke luar kota menitipkan talenta kepada hamba-hambanya. Kata talenta merupakan kata kunci, namun perlu didefinisikan lagi karena saat ini sudah dipahami dengan berbeda. Pengertian talenta (ταλαντον) mula-mula adalah satuan berat emas, perak, dan lain-lain. Kemudian satuan uang yang tinggi sekitar 5000-6000 denari, setara dengan jutaan rupiah. Dan di Yunani talenta adalah satuan mata uang.[10]
Yesus mengalamatkan percakapan tentang akhir zaman (pasal 24) kepada mur id-rnurid-Nya dan melanjutkannya dengan beberapa perumpamaan yang berhubungan dengan kedatangan-Nya kembali. Semua percakapan ini terjadi dua atau tiga hari sebelum peringatan hari raya Paskah (Matius 26:2). Sebaliknya, di dalam Lukas 19:12-27 Lukas mencatat bahwa Yesus mengajarkan perumpamaan ten tang sepuluh uang mina sesudah Dia meninggalkan Yerikho dan mendekati Yerusalem, sehari sebelum atau pada hari Minggu Palem. Perumpamaan ten tang uang mina ini mirip dengan perumpamaan tentang talenta, meskipun kedua perumpamaan ini tidak identik. Berdasarkan latar belakang dan kerangka historis yang diberikan oleh para penulis Injil, di samping jangkauan perumpamaan-perumpamaan tersebut, kita percaya bahwa Yesus mengajarkan dua perumpamaan ini dalam dua kesempatan yang berbeda. 
Perumpamaan tentang talenta merupakan perumpamaan yang paling panjang di dalam Injil Matius. Di dalam bentuk yang agak rinci, perumpamaan ini berhubungan dengan percakapan antara tuan dan hamba-hambanya. Dan perumpamaan tentang talenta ini juga mempunyai kesimpulan yang agak panjang, yang mengikatnya dengan perumpamaan-perumpamaan lainnya.
Secara garis besar perhitungan talenta menunjukkan pada penghukuman, hadiah bagi yang menggandakan talenta (ayat 20-23) dan hukuman bagi hamba yang tidak melakukan apa-apa (24-30). Kesiapsediaan terus menerus menuntut tindakan yang menghasilkan buah.[11] Berikut secara singkat penjelasan hal-hal penting dalam perikop ini.
Dalam ayat 15 "talenta" yang disebut oleh Yesus Kristus di sini berbicara tentang besaran-uang. Masing-masing hamba, diberikan talenta yang berbeda menurut kesanggupannya. Talenta di sini melambangkan tanggung jawab yang berbeda yang harus dijalankan sesuai dengan kemampuan masing-masing orang. Hal ini menarik jika kita bandingkan dengan pengertian "talenta" di zaman sekarang, bahwa "talenta" diartikan dengan "bakat-alam" yang dimiliki seseorang. Kata talenta sudah mengalami pergeseran.
Ayat 19-23, meskipun tidak dirujukkan berapa lama, namun akhirnya tuan dari para hamba-hamba itu datang kembali. Hamba yang pertama dan yang kedua berhasil meningkatkan talenta yang diberikan sebesar 100% dan menerima pujian dari tuannya : "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar". Sebagian dari upah terdiri atas penerimaan tanggung-jawab dan kehormatan yang lebih besar dari tuan mereka : "Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan (suka-cita) tuanmu" . Ini adalah ganjaran bagi orang percaya yang selalu mengusahakan talenta yang diberikan, dengan ini mereka telah melaksanakan kehendak Bapa dengan sempurna.
Ayat 24-25, Tetapi hamba yang tidak mengusahakan talenta yang diberikan, dan yang tidak menghasilkan apa-apa menunjukkan pemahaman yang salah sama sekali tentang tuannya. Malahan dia protes, hal itu tampak dari penjelasan yang ia berikan. Hamba itu menyatakan bahwa tuannya adalah "manusia yang kejam". Keras, kejam tidak berperikemanusiaan karena tuannya itu "menuai dimana tuan tidak menabur', maksud hamba itu adalah bahwa tuannya itu mengambil keuntungan dari hasil jerih-payah orang lain yaitu "memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam". Hamba ini jelas menuduh tuannya sebagai tuan yang jahat. Alasan selanjutnya juga ia paparkan bahwa ia takut mengambil resiko dan takut mempertanggung-jawabkan kerugian yang mungkin terjadi, yang olehnya ia nanti akan dihukum karena menyebabkan tuannya rugi. Rupanya hamba ini buta terhadap kenyataan bahwa tuannya adalah tuan yang murah hati dan mengasihi, yang ingin ia dapat hanyalah ikut menikmati kebahagiaan.
Ayat 26, Tuannya membalas dengan sebuah pertanyaan "jadi kamu sudah tahu…?" walaupun kalimat tersebut bukan mengakui kebenaran pandangan hamba tersebut, namun Sang tuan ini sedang menilai sikap si hamba ini berdasarkan dalih yang digunakannya untuk menunjukkan keengganannya mengusahakan talenta yang diberikan.
Ayat 27-29, Apabila si hamba memang takut mengambil resiko dari usaha/bisnis, maka seharusnya ia menabungkan uangnya (talentanya) pada orang yang menjalankan uang (zaman sekarang : Bank) sehingga pasti menghasilkan bunga. Karena itu talenta yang ada di tangan hamba yang malas dan pemberontak ini diambil kembali dan kemudian diberikan kepada hamba yang paling mampu memanfaatkan/ mengusahakan talenta itu.
Ayat 30, Resiko yang tadinya menjadi dalih hamba yang malas dan pemberontak itu ternyata menimpanya : "Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi". Ayat ini menunjukkan tentang hukuman yang abadi (lihat Matis 8:12; Matius 13:42,50; Matius 22:13; Matius 24:51).
Perumpamaan tentang talenta mengajarkan bahwa hamba-hamba Tuhan harus setia dengan melaksanakan apa yang dipercayakan kepada mereka dengan tepat dan efisien sampai pada hari perhitungan. Seperti gadis-gadis pengiring pengantin diharapkan untuk menunggu kedatangan mempelai laki-laki, demikian juga harnba-hamba itu menunggu kedatangan tuannya. Meskipun perumpamaan tentang gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh tidak mengatakan apapun tentang bekerja selama mereka berjaga-jaga tiap malam, perumpamaan tentang talenta mengajarkan bahwa hamba-hamba itu harus sibuk ketika tuannya tidak ada. Kedua perumpamaan ini menunjukkan bahwa baik wanita maupun pria harus berjaga-jaga sementara mereka menunggu kedatangan Tuhan. 
Perumpamaan ini jelas menunjukkan kepada kita bahwa kita harus mengusahakan "talenta" yang diberikan Allah kepada kita. Jelas ini adalah sebuah pengajaran dengan 'perumpamaan' yang menunjukkan betapa perlunya menggunakan pemberian Allah dengan sikap bertanggung-jawab dalam pelayanan kepada Allah pada saat tuan-kita “tidak hadir”. Pemberian yang digambarkan dengan 'pemberian modal' ini bisa kita artikan dengan 'IMAN' dan 'karunia / berkat' yang Allah berikan kepada kita.
Maka manusia yang diberi kesempatan rohani yang berbeda-beda harus menggunakan kesempatan itu, karena bagi yang menggunakannya akan disebut sebagai hamba yang setia dan diberi kesempatan yang lain lagi (terutama hidup yang akan datang). Bagi orang yang tidak menggunakan kesempatan dan mengusahakan imannya itu akan dibuang (dihukum) karena ia adalah hamba yang 'tidak berguna'.[12]
Yesus Kristus akan datang kembali, dan Ia menuntut tanggung-jawab pada kita semua terhadap penggunaan “iman” yang Ia berikan kepada kita. Kita harus mengusahakan iman itu dan memperjuangkannya sampai akhir nanti. AMIN.


[1] I. Suharyo Pr, Pengantar Injil Sinoptik (Yogyakarta: Kanisius, 1989) hal. 76
[2] Louis Berkhof, Introduction to the New Testament, (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library, 2004), 32
[3] Suharyo, hal. 77-78
[4] Ibid, hal. 78
[5] Ibid, hal. 79
[6] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Pengantar Historis-Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hal. 220
[7] Suharyo, hal. 79
[8] Suharyo, hal. 79
[9] Suharyo, hal. 84
[10] sabda.com, diunduh pada 12 Mei 2011
[11] Daniel J. Harrington Matius dalam Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 70-71
[12] Donald Guthrie dkk (ed.) Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Matius-Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1980), hal. 119

SEKOLAH TEOLOGIA : UNTUK SIAPA?



SEKOLAH TEOLOGIA : UNTUK SIAPA?
Oleh Iskak Sugiyarto
           
            Mencari calon-calon pelayan Tuhan akhir-akhir ini seperti mencari barang langka yang berharga.  Survey kecil penulis lakukan di antara Sekolah Tinggi Teologi (STT) di sekitar Salatiga, lima tahun terakhir ini mahasiswa yang masuk STT rata-rata di bawah 20 orang.  Fakta itu ditambah lagi dengan mahasiswa tersebut rata-rata adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah (tepatnya kalangan kurang mampu).  Tidak berhenti di situ, calon-calon pelayan Tuhan itu adalah anak-anak desa (misal dari Mentawai, Nias, Soe, Sumba, Kupang, Sulawesi, dan Papua).  Meskipun dari masyarakat berpenduduk mayoritas Kristen tetapi kekristenannya belum baik, dan kemampuan akademisnya pun di bawah rata-rata. 
Masihkah ingat desa itu selalu identik dengan apa (ada di dalam klip Pesat)?  Kemiskinan, pendidikan kualitas rendah-buruk, sakit-penyakit, hidup yang statis, perdukunan, dll.nya.!!
            Jadi mengapa yang sekolah teologi “hanya” mereka itu?  Terus ke mana anak-anak pendeta, anak-anak hamba Tuhan yang sudah terlebih dahulu pelayanan?  Para pendeta atau hamba Tuhan mempunyai jawaban yang sama: “Anak-anak mempunyai panggilan yang berbeda”.  Karena sudah berwawasan yang luas (tanpa dengan suara Tuhan lagi) maka para hamba Tuhan itu memberi penjelasan mengapa anak mereka tidak disarankan ke sekolah Alkitab atau teologia:  “Untuk melayani Tuhan tidak harus sekolah Alkitab, yang penting hatinya, anak-anak dapat melayani Tuhan sesuai bidang atau kemampuannya”.  Bahasa kerennya, anak-anak mereka nanti dapat pelayanan di marketplace.
            Memang ini adalah paradoks dan ironis,  mengapa yang sekolah teologi – yang dipersiapkan untuk menghadirkan kerajaan Allah atau menjadi agen transformasi bukan dari anak-anak Pendeta atau hamba Tuhan yang saleh, yang mendidik anaknya lebih baik dibandingkan orang-orang desa?
            Itulah tantangan sekolah tinggi teologi sekarang ini.  STT harus selalu mempunyai peserta didik di setiap angkatan, dengan jumlah pendaftar dan yang diterima sesuai standar serta masuk akal.  Tantangan berikutnya selain input adalah output-nya juga harus berkualitas, sesuai kebutuhan stakeholder. 
            Bagaimana cara STT dapat memperoleh calon mahasiswa atau input yang baik?  Ini adalah perkejaan yang tidak mudah.  Karena seperti yang sudah-sudah, jika anaknya pintar apalagi orang tuanya mempunyai uang pasti tidak akan memasukkan anaknya ke sekolah teologi.  Pernah penulis mendengar kekecewaan orang yang melihat salah satu anak yang pintar menjadi mahasiswa  STT, “sayang ya, anak pintar kok masuk STT”.  Jengkel dan gemas sekali rasanya mendengar ungkapan itu.  Dalam hati saya bertanya dengan marah:  Memangnya STT itu untuk siapa sih?  Memangnya siapa sih yang dipanggil Tuhan untuk melayani?  Hanya orang miskin?  Hanya orang desa?  Hanya yang goblok?  Hanya yang nakal?  Hanya anak dari brokenhome?
Sekali lagi, mendapatkan input yang baik tidaklah mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil.  Oleh sebab itu diperlukan sinergi dari semua pihak.  Tidak bisa hanya mengandalkan orang yang berada di dalam STT, tetapi perlu dukungan dari gereja, para alumni, dan semua orang Kristen.  Panggilan Tuhan untuk melayani sejatinya ditujukan kepada semua kalangan (kaya-misikin, pintar-kurang pintar).  Yang paling penting adalah yang bersedia berkata: “Ini aku Tuhan, utuslah aku”.
Mari minta kepada Tuhan penuai-penuai, karena masih banyak pekerjaan (menanam dan) menuai (lihat Matius 9:37-38).