Selasa, 09 April 2013

KITAB PUISI



RINGKASAN BUKU
PENGANTAR PERJANJIAN LAMA 2: KITAB PUISI
W.S. Lassor, D.A. Hubbart, & F.W. Bush,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, hal. 25-38 & 166-177)


PUISI IBRANI

Bahasa Ibrani mempunyai ciri musik hakiki yang secara alamiah menopang ungkapan yang bersifat puitis. Pada dasarnya bahasa Ibrani adalah bahasa yang tertdiri atas kata kerja dan kata benda, dan ini adalah faktor penyusunan puisi Ibrani. Walaupun tidak ada peraturan ketat mengenai sajak dan irama, bahasa tersebut sebagian besar bergantung pada tekanan atau aksen untuk sifat ritmiknya/iramanya berdasarkan pengamatannya.
            Bagian “sastra” dalam Perjanjian Lama berisi lima kitab, yaitu: Kitab Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, dan Kidung Agung. Kitab-kitab tersebut dapat dibagi lagi atas dua jenis sastra utama, yakni nyanyian (Mazmur, Kidung Agung), dan hikmat (Ayub, Amsal, Pengkhotbah). Sebagian besar dari tulisan dalam kitab-kitab sastra ini berbentuk puisi, tetapi ada juga sedikit prosa.
             
Ciri-ciri puisi Ibrani
            Ciri khas puisi Ibrani ialah kesejajaran arti (pararelismus membrorum) antara dua atau tiga baris pada setiap ayat. Ada beberapa bentuk kesejajaran, yaitu:

a. Kesejajaran persamaan/sinonim (Syonymous Parallelism): dua baris atau lebih yang mengandung ide atau arti yang sama.
            Bentuk kesejajaran ini merupakan bentuk yang paling sederhana, terdiri dari dua baris yang menyatakan hal-hal yang kurang lebih sama. Misalnya:
            Anggur                       pencemooh   a          b
            Minuman keras        peribut                        a'         b'         (Ams 20:1)
Pernyataan ini terdiri dari dua baris, masing-masing terdiri dari dua kata. Kata pertama dalam baris pertama (anggur) sejajar dengan kata pertama dalam baris kedua (minuman keras). Kata-kata kedua juga sejajar. Contoh lain: Maz 15:1; 24:3; 114

b. Kesejajaran pertentangan/berlawanan (Antithetic Paralellism): Dua baris atau lebih yang mengandung ide yang berlawanan atau baris kedua bertentangan dengan baris pertama.
            Baris kedua mengungkapkan gagasan yang sama tetapi dalam bentuk yang menyangkal atau yang bertentangan. Hal ini sering terdapat dalam Kitab Amsal dan Mazmur tetapi jarang terdap[at dalam kitab para nabi:
Anak bijak     mendatangkan sukacita  kepada ayahnya
 (a+b)                          c                                  d
Anak bebal    kedukaan                      bagi ibunya
-(a+b)                          -c                                 d'         (Ams 10:1; lih. Maz 1:6; Ams 1:29)

c. Kesejajaran perlengkapan / memadukan (Synthetic Parallelism): Dua baris atau lebih yang mengandung ide yang sama dengan tambahan arti atau baris kedua melengkapi baris pertama.
            Dalam kesejajaran perlengkapan, baris kedua mengembangkan pemikiran dalam baris pertama dan bukan mengulanginya
            Aku-akan-melepas api       ke tembok Gaza       a  b  c
                        sehingga-dimakan-habis purinya                                        d  e (Am 1:7)        

            Kata kerja “dimakan habis” tidak betul-betul sejajar dengan “api”, tetapi lebih merupakan akibat dari api itu. “Tembok Gaza” dan “purinya” merupakan pernyataan yang saling melengkapi, yang menyatakan keseluruhan kota.
d. Persamaan (puisi) simbolis (Emblematic Poetry):
            Pernyataan yang bersifat kiasan (simbol) atau pernyataan harfiah di satu bagian dikuatkan oleh kiasan yang terdapat dibagian lain, seperti dalam Mazmur 42:2
            “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair,
                        demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.”

e. Persamaan (puisi) yang memuncak (Climactic Poetry): Puisi yang berisikan pengulangan ide yang memuncak (mencapai klimaks), sebagian dari bagian pertama diulang, dan diuraikan lebih lanjut di bagian kedua, seperti di Maz 29:1,2a; 94:3; 95:1-3; 121:1-4
            “Kepada TUHAN, hai penghuni sorgawi,
                        kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan kekuatan!
            Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya,
                        Sujudlah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan”(Maz 29-1, 2)

f. Persamaan yang terbalik susunannya (Inverted Parallelism)
            Susunan yang terdiri dari empat bagian, sehingga bagian pertama ada persamaan dengan bagian keempat, dan yang kedua dengan ketiga. Contoh: Maz 123:1,2; Ams 23:15,16.
            “Hai anakku, jika hatimu bijak,
                        hatiku juga bersukacita
            Jiwaku bersukaria,
                        kalau bibirmu mengatakan yang jujur.”   (Ams 23:15,16).

Untuk memahami arti dari puisi, penting untuk diperhatikan adalah bagian-bagian kesejajaran dalam suatu perikop karena seluruh bagian-bagian perikop merupakan keseluruhan pemberitaannya.
            Langkah pertama adalah menganalisis perikop. Kemampuan mengenali bagian-bagian ini adalah sangat penting, tetapi analisis tidak berarti suatu teks dapat dimengerti secara terpisah-pisah, keseluruhan pemberitaannya harus diperhatikan. Misalnya dalam Amsal 10:1; Amos 1:8.
            Langkah kedua adalah mengenali gaya bahasa puisi. Ungkapan-ungkapan seperti “pohon-pohon bertepuk tangan” atau bukit-bukit kecil melompat seperti anak-anak domba” harus dimengerti sebagai bahasa puisi. Contoh lain: Yesaya 1:10, “Manusia Sodom dan manusia Gomora” artinya adalah orang Israel disamakan dengan orang-orang yang paling berdosa. Bahasa kiasan dan lambang di dalam Alkitab digunakanuntuk membandingkan (analogi) Allah dengan apa yang kita lihat.
            Perlu juga diingat bahwa puisi dalam Perjanjian Lama semula bukanlah sumber-sumber ajaran teologia, tetapi merupakan ungkapan iman para penyanyi, secara pribadi atau kelompok. Oleh sebab itu untuk mengerti makna dari Kitab-kitab (ayat-ayat) nyanyian harus mempelajari bentuk dan latar belakang munculnya nyanyian-nyanyian tersebut.


Kidung Agung

Nama
            Nama kitab ini diambil dari ayat pertama, “Kidung Agung dari Salomo”. Kitab ini adalah pertama dari lima gulungan (meggillot) dalam kanon Ibrani.  Bahasa Ibrani untuk nama kitab ini adalah Syir hasyirim (harfiah: Kidung dari kidung-kidung/song of songs). Disebut sebagai kidung dari segala kidung karena kitab ini dianggap paling utama dari keseribu lima nyanyian yang dikarang oleh Salomo (1 Raj 4:32). Isinya adalah himpunan nyanyian-nyanyian mengenai percintaan atau nyanyian perkawinan.
            Judul “Kidung Agung” (1:1) bukan bagian dari teks asli, melainkan ditambahkan pada waktu kemudian. Tradisi mengaitkannya dengan “Salomo” sebagai pengarang. Salomo sebagai pemberi inspirasi dari semua nyanyian dan hikmat, Salomo adalah raja yang menikah.  Kitab ini dikenal sebagai kidung. Menurut dugaan, nyanyian-nyanyian ini dinyanyikan pada pesta pernikahan yang berlangsung selama tujuh hari. Biasanya juga digunakan untuk perayaan Paskah.

Penulis
            Salomo mengklaim bahwa dia sendiri yang menulis buku ini (1:1, 5; 3:9-11; 8:11-12). Pada pasal 1:1 kata lisylomo secara harfiah berarti 'pada Salomo', dapat menunjukkan pengarangnya, tetapi mungkin juga berarti 'untuk Salomo' atau 'dengan gaya Salomo'. Keahlian Salomo sebagai penulis kidung sudah dikenal dari 1 Raja-raja 4:32 (band. Maz.72; 127), namun hubungannya dengan kidung cinta ini tidak jelas. Menurut Talmud Baba Bathra 15a, Kidung Agung berasal dari Hizkia dan pegawai-pegawainya. Pandangan ini berdasarkan Amsal 25:1.
            Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa penyuntingan terakhir dilakukan pada waktu yang lebih kemudian dari masa Salomo, antara lain:
Ä Kata-kata pinjaman dari bahasa Persia dan Yunani (4:13 Pardes 'kebun pohon-pohon'; 3:9 appiryon 'tandu').
Ä Penggunaan bentuk kata ganti penghubung yang merupakan ciri bahasa Ibrani (bentuk sye' ganti asyer, kecuali dalam 1:1)
Ä Ungkapan yang mencerminkan pengaruh bahasa Aram.

Namun, penulisan kitab ini tidak dilakukan pada masa Helenistik (setelah tahun 330 sM). Penulisannya diperkirakan di Palestina Utara, misalnya Saron, 2:1; Libanon, 3:9; 4:8, 11, 15 dll.; Amana, Senir, Hermon, 4:8; Tirza, 6:4; Damsyik, 7:4; Karmel, 7:5), namun penulis juga menghargai bagian selatan. Ia mengenal geografi seluruh Palestina dan Siria dari En-Gedi (1:14) sampai Libanon.
            Kitab Kidung Agung mencerminkan kejayaan Salomo,  sama seperti kemewahan, kekayaan, dan hikmat yang disebut-sebut dalam Kitab Pengkhotbah secara cermat mencatat keadaan pada masa pemerintahannya. Ringkasnya, walaupun Salomo sendiri mungkin bukan pengarangnya, namun nada dan keadaan Kidung Agung mencerminkan zamannya. Sama seperti Kitab Amsal, dasar atau inti Kidung Agung mungkin disebarkan (mungkin secara lisan), ditambah dan kemudian diberi bentuknya yang sekarang oleh seorang penyair yang tidak disebut namanya dan hidup sekitar masa pembuangan, atau sekitar abad ke-3 sM.
            Pada mulanya Kidung Agung diragukan untuk dimasukkan dalam kanon. Alasannya karena kata “Allah” tidak terdapat dalam Kitab ini, dan berisi sajak-sajak percintaan. Hal ini di dukung kenyataan bahwa Kidung Agung tidak dikutip dalam Perjanjian Baru. Pada sekitar tahun 90-100 sM, waktu penentuan keputusan terakhir yang dibuat oleh para  rabi Yahudi-sebelumnya terjadi banyak diskusi. Akhirnya masalah dapat diselesaikan ketika Rabi Akiba, salah seorang pimpinan, mengajukan penafsiran Kidung Agung sebagai permenungan pernikahan antara Yahwe dengan bangsa pilihan. Akhirnya ditentukan untuk bacaan di rumah ibadat selama pesta paskah.
            Sifat erotis Kidung Agung menimbulkan keberatan. Tetapi akhirnya keberatan itu dianggap kurang penting dibandingkan dengan hubungan Kidung Agung dengan Salomo, dan penafsiran-penafsiran alegoris oleh para rabi dan orang-orang Kristen mengurangi nada sensual kitab ini. Orang Yahudi mulai menemukan suatu gambaran mengenai kasih Allah yang tiadataranya bagi Israel, sehingga akhirnya mereka tidak ragu-ragu menerimanya sebagai kitab suci.

Sifat-sifat Sastra
            Sebenarnya Kidung Agung bukanlah tulisan hikmat, karena bentuknya yang menonjol adalah puisi cinta, bukan pengajaran atau perdebatan. Tetapi karena hubungannya dengan Salomo dan mungkin karena disalin, dipelihara dan disebarkan oleh kelompok-kelompok berhikmat, maka kitab itu dapat dipelajari bersama-sama dengan sastra hikmat. Lagi pula para penyairnya hampir sama dengan orang-orang bijak karena mereka merayakan keagungan perkawinan sebagai karunia dari Pencipta dan sebagai kaidah bagi kehidupan manusia.
            Kebanyakan Kidung Agung merupakan percakapan antar kedua kekasih (1:9 dst.; 6:2 dst.), walaupun mungkin sebagian merupakan pembicaraan yang dibayangkan saja, yang diucapkan pada waktu pasangan yang bersangkutan tidak hadir. Berikut beberapa bentuk puisi cinta dalam Kidung Agung:

a. Kidung penggambaran
            Masing-masing kekasih menggambarkan keindahan pasangannya dalam bahasa yang sangat bersifat kiaan (laki-laki menggambarkan tentang gadis, Kid 4:1-7; 6:4-7; 7:1-9; gadis mengambarkan tentang laki-laki, 5:10-16). Gambaran-gambaran ini menyapa pasangan masing- masing, sambil mendorong keduanya untuk mempersiapkan diri berkasih-kasihan (1:15,16, pada waktu masing-masing secara bergiliran mengagumi keindahan pasangannya).

b. Penggambaran diri
            Hanya gadis yang menggunakan bentuk ini, biasannya untuk menyangkal secara sopan kecantikan yang dinyatakan kepadanya (1:5-6; 2:1). Gambaran dirinya dalam Kidung Agung 8:10 tampaknya membanggakan keperawanan dan kedewasaannya.

c. Kidung kekaguman
            Bentuk ini berbeda dengan kidung penggambaran karena yang menjadi perhatian ialah pakaian atau barang hiasan yang dipakai oleh sang kekasih (perhiasan, 1:9-11; 4:9-11). Pasal 7:1-9 memperlihatkan nafsu yang ditimbulkan oleh kekaguman seperti itu; sang kekasih rindu untuk memiliki orang yang begitu ia kagumi.

d. Kidung kerinduan
            Keinginan yang kuat dari kedua kekasih terutama pada waktu berpisah, dikumandangkan dalam kidung-kidung ini (1:2-4; 2:5,6; 8:1-4,6,7). Bentuk khasnya berupa keinginna untuk bercinta atau ajakan untuk bercinta. Ketidak hadiran kekasih dapat membuat kasih menjadi lebih hangat.

Cara Penafsiran yang Diusulkan
a. Tafsir alegoris
            Mungkin penafsiran alegoris, dan tradisi yang menyebutkan Salomo sebagai penulis Kidung Agung, menyebabkan kitab ini masuk dalam kanon Alkitab. Penafsiran Yahudi yang paling awal (Misyna, Talmud, dan Targum) menerangkan bahwa Kidung Agung menggambarkan kasih Allah bagi Israel. Hal ini menjelaskan mengapa kitab ini digunakan pada hari Paskah, yang merayakan perjanjian kasih Allah. Namun para rabi tidak puas dengan penjelasan umum tentang hubungan Allah dengan Israel, sehingga mereka berusaha menemukan rujukan kepada peristiwsa-peristiwa tertentu dalam sejarah Israel.
            Bapa-bapa Gereja menetapkan arah bagi penafsiran Kristen dengan melihat dalam kitab ini kasih Kristus bagi jemaat atau bagi orang-orang percaya secara pribadi. Beberapa tradisi Kristen telah menyumbangkan penafsiran yang terinci dan  penuh imajinasi, antara lain “kasih timbal balik antara Kristus dan jemaat”. Masalah dalam menggunakan metode tafsir alegoris adalah tidak dapat menangkap maksud dari penulisnya, dan tiap-tiap orang menemukan Kidung Agung sesuai ide-ide dirinya sendiri.

b. Tafsir tipologis
            Metode ini berusaha menghindari subjektifitas tafsiran alegoris dan mempertahankan pengertian harfiah puisi itu, dengan menekankan tema-tema uatam tentang kasih dan pengabdian, bukan tentang rincian-rincian kisah itu. Dalam kehangatan dan kekuatan kasih sayang secara timbal balik antara kedua kekasih itu, para penafsir tipologi ini mendengar nada hubungan antara Kristus dan jemaat-Nya. Hal ini berdasarkan salah satu contoh dalam analogi Alkitab  mengenai pernikahan rohani. (Yer 2:2; 3:1 dst; Yeh 16:6 dst.; Hos 1-3; Ef 5:22-23; Wahyu 19:9).

Tujuan
            Kidung Agung merupakan seuatu pelajaran, suatu perumpamaan (masyal) luas yang menggambarkan keajaiban dan kekayaan cinta manusia  yang merupakan pemberiaan kasih Allah. Walaupaun bahsanya terang-terang, Kidung Agung memberi keseimbangan antara dua ekstrem, yakni perbuatan seksual yang berlebihan dan asketisme yang menyangkal kebaikan dan kebenaran cinta jasmani dalam rangka pernikahan yang ditetapkan Allah. Kidung Agung tidak terbatas pada hal cinta kasih manusia, tetapi kitab ini mengingatkan tentang cinta yang lebih murni dari pada cinta manusia.
            Kidung Agung diartikan sebagai lambang hubungan antara Kristus dan jemaat adalah berasal dari tradisi agama Yahudi, dan bukan berasal dari Alkitab sendiri, dan sebaiknya tidak melebihi maksud utama, yakni tentang keindahan cinta antara laki-laki dan perempuan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar