RINGKASAN BUKU
PENGANTAR PERJANJIAN LAMA 2: KITAB PUISI
W.S. Lassor, D.A. Hubbart, & F.W. Bush,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, hal. 25-38
& 166-177)
PUISI
IBRANI
Bahasa Ibrani mempunyai ciri musik hakiki
yang secara alamiah menopang ungkapan yang bersifat puitis. Pada dasarnya
bahasa Ibrani adalah bahasa yang tertdiri atas kata kerja dan kata benda, dan
ini adalah faktor penyusunan puisi Ibrani. Walaupun tidak ada peraturan ketat
mengenai sajak dan irama, bahasa tersebut sebagian besar bergantung pada
tekanan atau aksen untuk sifat ritmiknya/iramanya berdasarkan pengamatannya.
Bagian “sastra” dalam
Perjanjian Lama berisi lima kitab, yaitu: Kitab Ayub, Mazmur, Amsal,
Pengkhotbah, dan Kidung Agung. Kitab-kitab tersebut dapat dibagi lagi atas dua
jenis sastra utama, yakni nyanyian (Mazmur, Kidung Agung), dan hikmat
(Ayub, Amsal, Pengkhotbah). Sebagian besar dari tulisan dalam kitab-kitab
sastra ini berbentuk puisi, tetapi ada juga sedikit prosa.
Ciri-ciri puisi Ibrani
Ciri khas puisi Ibrani
ialah kesejajaran arti (pararelismus membrorum) antara dua atau tiga
baris pada setiap ayat. Ada beberapa bentuk kesejajaran, yaitu:
a. Kesejajaran persamaan/sinonim (Syonymous Parallelism): dua
baris atau lebih yang mengandung ide atau arti yang sama.
Bentuk kesejajaran ini
merupakan bentuk yang paling sederhana, terdiri dari dua baris yang menyatakan
hal-hal yang kurang lebih sama. Misalnya:
Anggur pencemooh a b
Minuman keras peribut a' b' (Ams
20:1)
Pernyataan ini terdiri dari dua baris, masing-masing terdiri dari dua
kata. Kata pertama dalam baris pertama (anggur) sejajar dengan kata pertama
dalam baris kedua (minuman keras). Kata-kata kedua juga sejajar. Contoh lain:
Maz 15:1; 24:3; 114
b. Kesejajaran pertentangan/berlawanan (Antithetic Paralellism):
Dua baris atau lebih yang mengandung ide yang berlawanan atau baris kedua
bertentangan dengan baris pertama.
Baris kedua
mengungkapkan gagasan yang sama tetapi dalam bentuk yang menyangkal atau yang
bertentangan. Hal ini sering terdapat dalam Kitab Amsal dan Mazmur tetapi
jarang terdap[at dalam kitab para nabi:
Anak bijak mendatangkan
sukacita kepada ayahnya
(a+b) c d
Anak bebal kedukaan bagi ibunya
-(a+b) -c d' (Ams 10:1; lih. Maz 1:6; Ams 1:29)
c. Kesejajaran perlengkapan / memadukan (Synthetic Parallelism):
Dua baris atau lebih yang mengandung ide yang sama dengan tambahan arti atau
baris kedua melengkapi baris pertama.
Dalam kesejajaran
perlengkapan, baris kedua mengembangkan pemikiran dalam baris pertama dan bukan
mengulanginya
Aku-akan-melepas api ke
tembok Gaza a b c
sehingga-dimakan-habis purinya d
e (Am 1:7)
Kata kerja “dimakan
habis” tidak betul-betul sejajar dengan “api”, tetapi lebih merupakan akibat
dari api itu. “Tembok Gaza” dan “purinya” merupakan pernyataan yang saling
melengkapi, yang menyatakan keseluruhan kota.
d. Persamaan (puisi) simbolis (Emblematic Poetry):
Pernyataan yang
bersifat kiasan (simbol) atau pernyataan harfiah di satu bagian dikuatkan oleh
kiasan yang terdapat dibagian lain, seperti dalam Mazmur 42:2
“Seperti rusa yang
merindukan sungai yang berair,
demikianlah
jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.”
e. Persamaan (puisi) yang memuncak (Climactic Poetry): Puisi yang
berisikan pengulangan ide yang memuncak (mencapai klimaks), sebagian dari
bagian pertama diulang, dan diuraikan lebih lanjut di bagian kedua, seperti di
Maz 29:1,2a; 94:3; 95:1-3; 121:1-4
“Kepada TUHAN, hai
penghuni sorgawi,
kepada
TUHAN sajalah kemuliaan dan kekuatan!
Berilah kepada TUHAN
kemuliaan nama-Nya,
Sujudlah
kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan”(Maz 29-1, 2)
f. Persamaan yang terbalik susunannya (Inverted Parallelism)
Susunan yang terdiri
dari empat bagian, sehingga bagian pertama ada persamaan dengan bagian keempat,
dan yang kedua dengan ketiga. Contoh: Maz 123:1,2; Ams 23:15,16.
“Hai anakku, jika
hatimu bijak,
hatiku juga
bersukacita
Jiwaku bersukaria,
kalau
bibirmu mengatakan yang jujur.” (Ams
23:15,16).
Untuk memahami arti dari puisi, penting untuk
diperhatikan adalah bagian-bagian kesejajaran dalam suatu perikop karena
seluruh bagian-bagian perikop merupakan keseluruhan pemberitaannya.
Langkah pertama adalah
menganalisis perikop. Kemampuan mengenali bagian-bagian ini adalah sangat
penting, tetapi analisis tidak berarti suatu teks dapat dimengerti secara
terpisah-pisah, keseluruhan pemberitaannya harus diperhatikan. Misalnya dalam
Amsal 10:1; Amos 1:8.
Langkah kedua adalah
mengenali gaya bahasa puisi. Ungkapan-ungkapan seperti “pohon-pohon bertepuk
tangan” atau bukit-bukit kecil melompat seperti anak-anak domba” harus
dimengerti sebagai bahasa puisi. Contoh lain: Yesaya 1:10, “Manusia Sodom dan
manusia Gomora” artinya adalah orang Israel disamakan dengan orang-orang yang
paling berdosa. Bahasa kiasan dan lambang di dalam Alkitab digunakanuntuk
membandingkan (analogi) Allah dengan apa yang kita lihat.
Perlu juga diingat
bahwa puisi dalam Perjanjian Lama semula bukanlah sumber-sumber ajaran
teologia, tetapi merupakan ungkapan iman para penyanyi, secara pribadi atau
kelompok. Oleh sebab itu untuk mengerti makna dari Kitab-kitab (ayat-ayat)
nyanyian harus mempelajari bentuk dan latar belakang munculnya
nyanyian-nyanyian tersebut.
Kidung Agung
Nama
Nama
kitab ini diambil dari ayat pertama, “Kidung Agung dari Salomo”. Kitab ini adalah
pertama dari lima gulungan (meggillot) dalam kanon Ibrani. Bahasa Ibrani untuk nama kitab ini adalah Syir
hasyirim (harfiah: Kidung dari kidung-kidung/song of songs). Disebut
sebagai kidung dari segala kidung karena kitab ini dianggap paling utama dari
keseribu lima nyanyian yang dikarang oleh Salomo (1 Raj 4:32). Isinya adalah
himpunan nyanyian-nyanyian mengenai percintaan atau nyanyian perkawinan.
Judul
“Kidung Agung” (1:1) bukan bagian dari teks asli, melainkan ditambahkan pada
waktu kemudian. Tradisi mengaitkannya dengan “Salomo” sebagai pengarang. Salomo
sebagai pemberi inspirasi dari semua nyanyian dan hikmat, Salomo adalah raja
yang menikah. Kitab ini dikenal sebagai
kidung. Menurut dugaan, nyanyian-nyanyian ini dinyanyikan pada pesta pernikahan
yang berlangsung selama tujuh hari. Biasanya juga digunakan untuk perayaan
Paskah.
Penulis
Salomo
mengklaim bahwa dia sendiri yang menulis buku ini (1:1, 5; 3:9-11; 8:11-12).
Pada pasal 1:1 kata lisylomo secara harfiah berarti 'pada Salomo', dapat
menunjukkan pengarangnya, tetapi mungkin juga berarti 'untuk Salomo' atau
'dengan gaya Salomo'. Keahlian Salomo sebagai penulis kidung sudah dikenal dari
1 Raja-raja 4:32 (band. Maz.72; 127), namun hubungannya dengan kidung cinta ini
tidak jelas. Menurut Talmud Baba Bathra 15a, Kidung Agung berasal dari
Hizkia dan pegawai-pegawainya. Pandangan ini berdasarkan Amsal 25:1.
Ada
beberapa alasan yang menunjukkan bahwa penyuntingan terakhir dilakukan pada
waktu yang lebih kemudian dari masa Salomo, antara lain:
Ä Kata-kata pinjaman dari bahasa Persia dan Yunani (4:13 Pardes
'kebun pohon-pohon'; 3:9 appiryon 'tandu').
Ä Penggunaan bentuk kata ganti penghubung yang merupakan
ciri bahasa Ibrani (bentuk sye' ganti asyer, kecuali dalam 1:1)
Ä Ungkapan yang mencerminkan pengaruh bahasa Aram.
Namun, penulisan kitab ini tidak dilakukan pada masa
Helenistik (setelah tahun 330 sM). Penulisannya diperkirakan di Palestina
Utara, misalnya Saron, 2:1; Libanon, 3:9; 4:8, 11, 15 dll.; Amana, Senir,
Hermon, 4:8; Tirza, 6:4; Damsyik, 7:4; Karmel, 7:5), namun penulis juga
menghargai bagian selatan. Ia mengenal geografi seluruh Palestina dan Siria
dari En-Gedi (1:14) sampai Libanon.
Kitab
Kidung Agung mencerminkan kejayaan Salomo,
sama seperti kemewahan, kekayaan, dan hikmat yang disebut-sebut dalam
Kitab Pengkhotbah secara cermat mencatat keadaan pada masa pemerintahannya.
Ringkasnya, walaupun Salomo sendiri mungkin bukan pengarangnya, namun nada dan
keadaan Kidung Agung mencerminkan zamannya. Sama seperti Kitab Amsal, dasar
atau inti Kidung Agung mungkin disebarkan (mungkin secara lisan), ditambah dan
kemudian diberi bentuknya yang sekarang oleh seorang penyair yang tidak disebut
namanya dan hidup sekitar masa pembuangan, atau sekitar abad ke-3 sM.
Pada mulanya Kidung Agung diragukan untuk dimasukkan
dalam kanon. Alasannya karena kata “Allah” tidak terdapat dalam Kitab ini, dan
berisi sajak-sajak percintaan. Hal ini di dukung kenyataan bahwa Kidung Agung
tidak dikutip dalam Perjanjian Baru. Pada sekitar tahun 90-100 sM, waktu
penentuan keputusan terakhir yang dibuat oleh para rabi Yahudi-sebelumnya terjadi banyak
diskusi. Akhirnya masalah dapat diselesaikan ketika Rabi Akiba, salah seorang
pimpinan, mengajukan penafsiran Kidung Agung sebagai permenungan pernikahan
antara Yahwe dengan bangsa pilihan. Akhirnya ditentukan untuk bacaan di rumah
ibadat selama pesta paskah.
Sifat erotis Kidung Agung menimbulkan
keberatan. Tetapi akhirnya keberatan itu dianggap kurang penting dibandingkan
dengan hubungan Kidung Agung dengan Salomo, dan penafsiran-penafsiran alegoris
oleh para rabi dan orang-orang Kristen mengurangi nada sensual kitab ini. Orang
Yahudi mulai menemukan suatu gambaran mengenai kasih Allah yang tiadataranya
bagi Israel, sehingga akhirnya mereka tidak ragu-ragu menerimanya sebagai kitab
suci.
Sifat-sifat Sastra
Sebenarnya Kidung Agung bukanlah tulisan hikmat, karena
bentuknya yang menonjol adalah puisi cinta, bukan pengajaran atau perdebatan.
Tetapi karena hubungannya dengan Salomo dan mungkin karena disalin, dipelihara
dan disebarkan oleh kelompok-kelompok berhikmat, maka kitab itu dapat
dipelajari bersama-sama dengan sastra hikmat. Lagi pula para penyairnya hampir
sama dengan orang-orang bijak karena mereka merayakan keagungan perkawinan
sebagai karunia dari Pencipta dan sebagai kaidah bagi kehidupan manusia.
Kebanyakan
Kidung Agung merupakan percakapan antar kedua kekasih (1:9 dst.; 6:2 dst.),
walaupun mungkin sebagian merupakan pembicaraan yang dibayangkan saja, yang
diucapkan pada waktu pasangan yang bersangkutan tidak hadir. Berikut beberapa
bentuk puisi cinta dalam Kidung Agung:
a. Kidung penggambaran
Masing-masing
kekasih menggambarkan keindahan pasangannya dalam bahasa yang sangat bersifat
kiaan (laki-laki menggambarkan tentang gadis, Kid 4:1-7; 6:4-7; 7:1-9; gadis
mengambarkan tentang laki-laki, 5:10-16). Gambaran-gambaran ini menyapa
pasangan masing- masing, sambil mendorong keduanya untuk mempersiapkan diri
berkasih-kasihan (1:15,16, pada waktu masing-masing secara bergiliran mengagumi
keindahan pasangannya).
b. Penggambaran diri
Hanya
gadis yang menggunakan bentuk ini, biasannya untuk menyangkal secara sopan
kecantikan yang dinyatakan kepadanya (1:5-6; 2:1). Gambaran dirinya dalam
Kidung Agung 8:10 tampaknya membanggakan keperawanan dan kedewasaannya.
c. Kidung kekaguman
Bentuk
ini berbeda dengan kidung penggambaran karena yang menjadi perhatian ialah
pakaian atau barang hiasan yang dipakai oleh sang kekasih (perhiasan, 1:9-11;
4:9-11). Pasal 7:1-9 memperlihatkan nafsu yang ditimbulkan oleh kekaguman
seperti itu; sang kekasih rindu untuk memiliki orang yang begitu ia kagumi.
d. Kidung kerinduan
Keinginan
yang kuat dari kedua kekasih terutama pada waktu berpisah, dikumandangkan dalam
kidung-kidung ini (1:2-4; 2:5,6; 8:1-4,6,7). Bentuk khasnya berupa keinginna
untuk bercinta atau ajakan untuk bercinta. Ketidak hadiran kekasih dapat
membuat kasih menjadi lebih hangat.
Cara Penafsiran yang Diusulkan
a. Tafsir alegoris
Mungkin
penafsiran alegoris, dan tradisi yang menyebutkan Salomo sebagai penulis Kidung
Agung, menyebabkan kitab ini masuk dalam kanon Alkitab. Penafsiran Yahudi yang
paling awal (Misyna, Talmud, dan Targum) menerangkan bahwa Kidung Agung
menggambarkan kasih Allah bagi Israel. Hal ini menjelaskan mengapa kitab ini
digunakan pada hari Paskah, yang merayakan perjanjian kasih Allah. Namun para
rabi tidak puas dengan penjelasan umum tentang hubungan Allah dengan Israel,
sehingga mereka berusaha menemukan rujukan kepada peristiwsa-peristiwa tertentu
dalam sejarah Israel.
Bapa-bapa
Gereja menetapkan arah bagi penafsiran Kristen dengan melihat dalam kitab ini
kasih Kristus bagi jemaat atau bagi orang-orang percaya secara pribadi.
Beberapa tradisi Kristen telah menyumbangkan penafsiran yang terinci dan penuh imajinasi, antara lain “kasih timbal
balik antara Kristus dan jemaat”. Masalah dalam menggunakan metode tafsir
alegoris adalah tidak dapat menangkap maksud dari penulisnya, dan tiap-tiap
orang menemukan Kidung Agung sesuai ide-ide dirinya sendiri.
b. Tafsir tipologis
Metode
ini berusaha menghindari subjektifitas tafsiran alegoris dan mempertahankan
pengertian harfiah puisi itu, dengan menekankan tema-tema uatam tentang kasih
dan pengabdian, bukan tentang rincian-rincian kisah itu. Dalam kehangatan dan
kekuatan kasih sayang secara timbal balik antara kedua kekasih itu, para
penafsir tipologi ini mendengar nada hubungan antara Kristus dan jemaat-Nya.
Hal ini berdasarkan salah satu contoh dalam analogi Alkitab mengenai pernikahan rohani. (Yer 2:2; 3:1
dst; Yeh 16:6 dst.; Hos 1-3; Ef 5:22-23; Wahyu 19:9).
Tujuan
Kidung
Agung merupakan seuatu pelajaran, suatu perumpamaan (masyal) luas yang
menggambarkan keajaiban dan kekayaan cinta manusia yang merupakan pemberiaan kasih Allah.
Walaupaun bahsanya terang-terang, Kidung Agung memberi keseimbangan antara dua
ekstrem, yakni perbuatan seksual yang berlebihan dan asketisme yang menyangkal
kebaikan dan kebenaran cinta jasmani dalam rangka pernikahan yang ditetapkan
Allah. Kidung Agung tidak terbatas pada hal cinta kasih manusia, tetapi kitab
ini mengingatkan tentang cinta yang lebih murni dari pada cinta manusia.
Kidung
Agung diartikan sebagai lambang hubungan antara Kristus dan jemaat adalah
berasal dari tradisi agama Yahudi, dan bukan berasal dari Alkitab sendiri, dan
sebaiknya tidak melebihi maksud utama, yakni tentang keindahan cinta antara
laki-laki dan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar