HANYA
GEREJA JAWABAN DUNIA
Latar
belakang
Gereja yang dipahami secara
umum adalah orang yang percaya (individu dan komunal) dan menjadi pengikut
Kristus. Dan gereja adalah yang mendapat tugas dari Tuhan Yesus Kristus sebagai
agen perbaikan, perubahan, dan keselamatan dunia ini (Mat. 28:19-20; ). Namun
situasi dunia sekarang ini dapat dikatakan semakin rusak, suatu kondisi yang
seharusnya bisa dicegah oleh gereja. Padahal jumlah gereja semakin hari semakin
banyak. Sebagai lembaga atau yang sudah ada dalam bentuk sinode
di Indonesia gereja menurut Buku Data dan Statistik Keagamaan Kristen Protestan
tahun1992, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen)
Protestan – Departemen Agama RI pada tahun 1993, ada 275 organisasi gereja
Kristen Protestan. Disamping itu ada pula sekitar 400-an yayasan Kristen
Protestan atau yang bersifat gerejawi baik yang sudah memperoleh Surat
Keputusan Pendaftaran sesuai UU No 8/1985 maupun yang belum. Jadi seluruhnya ada
sekitar 700 organisasi Kristen Protestan.[1] Setelah hampir dua puluh
tahun dari data itu pasti jumlahnya berlipat ganda.
Jadi apa yang sudah
dilakukan gereja di bumi ini? Tulisan pendek ini akan menjelaskan sedikit
tentang gereja dan tanggungjawabnya di bumi ini.
Pengertian
gereja
Menurut Coenen[2] kata
“eklesia” (ecclesia) digunakan dalam kemiliteran sebagai sebuah panggilan atau
perintah kepada tentara untuk berkumpul dalam barisan atau pasukan. Dalam
perkembangannya, kata eklesia digunakan untuk menggambarkan pertemuan
masyarakat atau warga, baik untuk keperluan kemasyarakatan atau urusan sosial
politik di Athena. Secara keseluruhan kata eklesia sebagaimana digunakan dalam
dunia sekuler kuno, mengandung arti ‘kumpulan orang-orang’ ‘suatu jemaat’, atau
‘suatu peristiwa di mana orang-orang berkumpul bersama di satu tempat untuk
tujuan-tujuan sosial politik’.[3]
Walaupun eklesia dalam
bahasa Yunani digunakan secara umum baik sebelum dan masa Yesus, namun Yesus
sendiri tidak membatasi penggunaan kata eklesia dalam kerangka sosial politik
Yunani-Romawi. Yesus memberi arti yang lebih dari sekedar suatu peristiwa atau
perkumpulan, Yesus menyajikan Eklesia sebagai “komunitas” dinamis Kerajaan,
suatu kekuatan rohani tak terbendung di bumi dan agen eskatologis dari
transformasi (Mat 16:18).
Fungsi
gereja
Menurut T. B Simatupang, gereja yang hidup di
tengah-tengah proses pembangunan dengan unsur modernisasi, urbanisasi,
industrialisasi dan sekularisasinya maka gereja harus membaharui cara berpikir,
cara bekerja, cara berorganisasi dan membaharui pemikiran teologinya dalam
ketaatan kepada Tuhan yang tidak berubah agar gereja dapat menjadi garam dan
terang (Mat. 5 : 16 – 17).[4] Lebih lanjut Simatupang
mengatakan bahwa posisi dan tanggung jawab gereja di semua tempat dan di semua
zaman tidak pernah mengalami perubahan. Tugas gereja adalah untuk hidup sebagai
gereja yang taat kepada Tuhan yang tidak mengalami
perubahan dulu, sekarang, dan selama-lamanya (Ibr. 13:8). Namun, tugas tersebut
harus dipahami secara baru di tengah dunia yang terus mengalami perubahan.[5] Tanpa mampu menjadi
jawaban yang sesuai dengan zaman penuh perubahan ini maka gereja dapat
dikatakan sebagai gereja yang “gagal menjadi garam”.[6]
Gereja sebagai wakil ALLAH
sudah seharusnya menghadirkan syalom di mana pun berada bukan malah sibuk membuat menara Babel
masing-masing, sehingga lupa bahwa di luar tembok yang dibangun dengan dana
ratusan juta sampai milyaran rupiah banyak orang memeras keringat dengan
berbagai cara demi sesuap nasi. Apalagi saat negara kita sedang dihadiahi banyak bencana yang
mengakibatkan banyak korban meninggal dan banyak orang kehilangan rumah, serta
kehilangan pekerjaan apakah gereja masih tetap memikirkan dirinya sendiri?.
Gereja harus cepat bertindak
karena sekarang ini fungsi garam dan terang sedang dibutuhkan oleh negeri ini.
Jangan takut melakukan hal baik sekecil apapun itu. Karena meskipun sedikit
garam dan terang yang kecil jika berada di dalam kondisi yang membutuhkan tetap
akan bermanfaat. Hanya dengan tindakan saja eksistensi gereja dapat dikatakan
masih asin dan bersinar. Karena garam (gereja/orang Kristen) yang sudah tidak
asin tidaklah berguna kecuali harus dibuang dan diinjak-injak.
Jadi
bagaimanakah gereja dapat menjadi wakil Allah bagi zaman ini? Bagaimana menjalankan
tugas creatio continua yang diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus untuk memberi
pengaruh bagi transformasi bangsa Indonesia? Dalam bidang apa saja?.
Menurut
penulis, membangun masyarakat adalah secara utuh (holistik) yakni membangun
jiwa, tubuh, dan roh. Melihat kondisi bangsa Indonesia sekarang ini maka ada banyak
bidang yang harus disentuh dan memberi jalan keluarnya oleh gereja, seperti
kemiskinan, pendidikan yang rendah dan rusak, kesehatan, sosial politik, dan
lain-lain.
a. Kemiskinan
Di Indonesia
angka kemiskinan masih sangat tinggi, menurut survei dari Badan Pusat Statistik
pada 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sebanyak 31,9 juta jiwa
atau 13,3 dari total penduduk Indonesia yang sebesar 240 juta jiwa.[7] Lebih dari sekedar jumlah,
bukan tidak percaya dengan data BPS, kemiskinan yang riil masih lebih banyak
baik di perkotaan apalagi di pedesaan. Oleh karena itu gereja harus mencari
cara bagaimana bangsa Indonesia bisa lepas dari belenggu kemiskinan. Tanpa
upaya pengentasan kemiskinan maka masyarakat akan terlilit dengan
masalah-masalah yang lain, seperti kesehatan dan pendidikan. Sehingga masalah
ini urgen untuk diselesaikan, dan gereja yang merupakan wakil Allah memberi
jawab.
Gereja
dapat membantu memberdayakan ekonomi jemaat kemudian kepada masyarakat. Gereja
harus peduli dan beraksi dengan hal-hal seperti ini.
b. Pendidikan
Pendidikan adalah pintu masuk bagi sebuah perubahan atau
perkembangan suatu masyarakat. Seringkali tanpa pendidikan yang memadai
masyarakat mengalami kemandekan dalam segala hal. Memperbaiki
pendidikan dapat dimulai dengan pendidikan sejak usia dini, berpihak kepada
masyarakat miskin, karena pendidikan sekarang lebih berpihak kepada yang kaya,
orang miskin dilarang sekolah. Gereja harus berpihak kepada mereka yang miskin.
Gereja
yang menjadi jawaban dunia akan mengalami pertumbuhan yang sehat, baik ke dalam
maupun ke luar. Pertumbuhan
gereja menurut Donald McGavran adalah “segala sesuatu yang mencakup soal membawa orang-orang yang tidak memiliki
hubungan pribadi dengan Yesus Kristus ke dalam persekutuan dengan Dia dan
membawa mereka menjadi anggota gereja yang bertanggung jawab”. Sedangkan
tujuan pertumbuhan gereja adalah “untuk
lebih mengefektifkan penyebaran Injil dan melipatgandakan gereja-gereja di
daerah baru”. [8]
Penutup
Mari
lembaga gereja apapun dan di manapun, di samping membangun gedung gereja serta
melengkapi semua kebutuhan gereja jangan sampai terjebak kepada fokus kepada
diri sendiri! Jangan lupa bahwa gereja
memiliki dan harus menjalankan tiga tugas gereja: Koinonia, Marturia, dan Diakonia. Gereja
harus menjadi tempat persekutuan, memberi kesaksian, dan pelayanan sosial.
Gereja yang bertumbuh adalah secara
ke dalam dan ke luar. Kualitas kerohanian dan kuantitas jemaat. Gereja ada dan
hadir di dunia bukan hanya untuk mengejar kekudusan pribadi saja, tetapi juga
harus berupaya membangun kekudusan sosial, atau menularkan kekudusan kepada
masyarakat. Seperti yang disarankan oleh bapa gereja, Jhon Wesley: “Individual holiness become social holiness”.
Jadi gereja yang sudah membangun kekudusan dengan segala bentuk ibadah jangan
terus puas tetapi harus sadar arti kehadiran gereja di dunia ini. Janganlah
“kudus”nya kita terus berada di tengah-tengah komunitas yang kudus pula, atau
terang terus berada di tempat yang terang, tentu kurang bermanfaat. Hal seperti
itu sama halnya menggarami lautan, tidak ada artinya. Gereja harus keluar
membawa kekudusan itu kepada masyarakat.
[1] Jan S. Aritonang, Berbagai
Aliran Di Dalam dan
Di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hal.
1
[2] L. Church Coenen, Synagoge, dalam the New International Dictionary of New Testament Theology (NIDNTT,1986),
dikutip Bambang Budijanto, No Plan B:
Rancangan Tunggal Kerajaan Allah: Eklesia, (Yogyakarta: Andi, 2009), hal.
13.
[3] Ibid,
hal. 13-14.
[5] Ibid,
hal. 89
[6] Meminjam istilah Arie Saptajie dalam
buku Gagal Menjadi Garam – Gereja di
Tengah Gejolak Budaya, (Yogyakarta:Andi, 2002).
[8] Peter Wagner, Gereja Saudara dapat Bertumbuh, (Malang: Gandum Mas, 1997), hal. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar