Jumat, 20 November 2015

SEKOLAH TEOLOGIA : UNTUK SIAPA?



SEKOLAH TEOLOGIA : UNTUK SIAPA?
Oleh Iskak Sugiyarto
           
            Mencari calon-calon pelayan Tuhan akhir-akhir ini seperti mencari barang langka yang berharga.  Survey kecil penulis lakukan di antara Sekolah Tinggi Teologi (STT) di sekitar Salatiga, lima tahun terakhir ini mahasiswa yang masuk STT rata-rata di bawah 20 orang.  Fakta itu ditambah lagi dengan mahasiswa tersebut rata-rata adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah (tepatnya kalangan kurang mampu).  Tidak berhenti di situ, calon-calon pelayan Tuhan itu adalah anak-anak desa (misal dari Mentawai, Nias, Soe, Sumba, Kupang, Sulawesi, dan Papua).  Meskipun dari masyarakat berpenduduk mayoritas Kristen tetapi kekristenannya belum baik, dan kemampuan akademisnya pun di bawah rata-rata. 
Masihkah ingat desa itu selalu identik dengan apa (ada di dalam klip Pesat)?  Kemiskinan, pendidikan kualitas rendah-buruk, sakit-penyakit, hidup yang statis, perdukunan, dll.nya.!!
            Jadi mengapa yang sekolah teologi “hanya” mereka itu?  Terus ke mana anak-anak pendeta, anak-anak hamba Tuhan yang sudah terlebih dahulu pelayanan?  Para pendeta atau hamba Tuhan mempunyai jawaban yang sama: “Anak-anak mempunyai panggilan yang berbeda”.  Karena sudah berwawasan yang luas (tanpa dengan suara Tuhan lagi) maka para hamba Tuhan itu memberi penjelasan mengapa anak mereka tidak disarankan ke sekolah Alkitab atau teologia:  “Untuk melayani Tuhan tidak harus sekolah Alkitab, yang penting hatinya, anak-anak dapat melayani Tuhan sesuai bidang atau kemampuannya”.  Bahasa kerennya, anak-anak mereka nanti dapat pelayanan di marketplace.
            Memang ini adalah paradoks dan ironis,  mengapa yang sekolah teologi – yang dipersiapkan untuk menghadirkan kerajaan Allah atau menjadi agen transformasi bukan dari anak-anak Pendeta atau hamba Tuhan yang saleh, yang mendidik anaknya lebih baik dibandingkan orang-orang desa?
            Itulah tantangan sekolah tinggi teologi sekarang ini.  STT harus selalu mempunyai peserta didik di setiap angkatan, dengan jumlah pendaftar dan yang diterima sesuai standar serta masuk akal.  Tantangan berikutnya selain input adalah output-nya juga harus berkualitas, sesuai kebutuhan stakeholder. 
            Bagaimana cara STT dapat memperoleh calon mahasiswa atau input yang baik?  Ini adalah perkejaan yang tidak mudah.  Karena seperti yang sudah-sudah, jika anaknya pintar apalagi orang tuanya mempunyai uang pasti tidak akan memasukkan anaknya ke sekolah teologi.  Pernah penulis mendengar kekecewaan orang yang melihat salah satu anak yang pintar menjadi mahasiswa  STT, “sayang ya, anak pintar kok masuk STT”.  Jengkel dan gemas sekali rasanya mendengar ungkapan itu.  Dalam hati saya bertanya dengan marah:  Memangnya STT itu untuk siapa sih?  Memangnya siapa sih yang dipanggil Tuhan untuk melayani?  Hanya orang miskin?  Hanya orang desa?  Hanya yang goblok?  Hanya yang nakal?  Hanya anak dari brokenhome?
Sekali lagi, mendapatkan input yang baik tidaklah mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil.  Oleh sebab itu diperlukan sinergi dari semua pihak.  Tidak bisa hanya mengandalkan orang yang berada di dalam STT, tetapi perlu dukungan dari gereja, para alumni, dan semua orang Kristen.  Panggilan Tuhan untuk melayani sejatinya ditujukan kepada semua kalangan (kaya-misikin, pintar-kurang pintar).  Yang paling penting adalah yang bersedia berkata: “Ini aku Tuhan, utuslah aku”.
Mari minta kepada Tuhan penuai-penuai, karena masih banyak pekerjaan (menanam dan) menuai (lihat Matius 9:37-38).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar