SEKOLAH TEOLOGIA : UNTUK SIAPA?
Oleh Iskak Sugiyarto
Mencari
calon-calon pelayan Tuhan akhir-akhir ini seperti mencari barang langka yang
berharga. Survey kecil penulis lakukan
di antara Sekolah Tinggi Teologi (STT) di sekitar Salatiga, lima tahun terakhir
ini mahasiswa yang masuk STT rata-rata di bawah 20 orang. Fakta itu ditambah lagi dengan mahasiswa
tersebut rata-rata adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah (tepatnya
kalangan kurang mampu). Tidak berhenti
di situ, calon-calon pelayan Tuhan itu adalah anak-anak desa (misal dari
Mentawai, Nias, Soe, Sumba, Kupang, Sulawesi, dan Papua).
Meskipun dari masyarakat berpenduduk mayoritas Kristen tetapi
kekristenannya belum baik, dan kemampuan akademisnya pun di bawah rata-rata.
Masihkah ingat desa itu selalu identik dengan apa (ada
di dalam klip Pesat)? Kemiskinan, pendidikan kualitas
rendah-buruk, sakit-penyakit, hidup yang statis,
perdukunan, dll.nya.!!
Jadi
mengapa yang sekolah teologi “hanya” mereka itu? Terus ke mana anak-anak pendeta, anak-anak
hamba Tuhan yang sudah terlebih dahulu pelayanan? Para pendeta atau hamba Tuhan mempunyai
jawaban yang sama: “Anak-anak mempunyai panggilan yang
berbeda”. Karena sudah berwawasan yang
luas (tanpa
dengan suara Tuhan lagi) maka
para hamba Tuhan itu memberi penjelasan mengapa anak mereka tidak disarankan ke
sekolah Alkitab atau teologia: “Untuk
melayani Tuhan tidak harus sekolah Alkitab, yang penting hatinya, anak-anak
dapat melayani Tuhan sesuai bidang atau kemampuannya”. Bahasa kerennya, anak-anak
mereka nanti dapat pelayanan di marketplace.
Memang
ini adalah paradoks dan ironis, mengapa
yang sekolah teologi – yang dipersiapkan untuk menghadirkan kerajaan Allah atau
menjadi agen transformasi bukan dari anak-anak Pendeta atau hamba Tuhan yang
saleh, yang mendidik anaknya lebih baik dibandingkan orang-orang desa?
Itulah
tantangan sekolah tinggi teologi sekarang ini.
STT harus selalu mempunyai peserta didik di setiap angkatan, dengan jumlah pendaftar dan yang diterima sesuai standar
serta masuk akal. Tantangan berikutnya
selain input adalah output-nya juga harus berkualitas, sesuai kebutuhan stakeholder.
Bagaimana
cara STT dapat memperoleh calon mahasiswa atau input yang baik? Ini adalah
perkejaan yang tidak mudah. Karena
seperti yang sudah-sudah, jika anaknya pintar apalagi orang tuanya mempunyai uang
pasti tidak akan memasukkan anaknya ke sekolah teologi. Pernah penulis mendengar kekecewaan orang
yang melihat salah satu anak yang pintar menjadi mahasiswa STT, “sayang ya, anak pintar kok masuk
STT”. Jengkel dan gemas sekali rasanya mendengar
ungkapan itu. Dalam hati saya bertanya
dengan marah: Memangnya STT itu untuk siapa sih? Memangnya
siapa sih yang dipanggil Tuhan
untuk melayani? Hanya orang miskin? Hanya orang desa? Hanya yang goblok? Hanya yang nakal? Hanya anak dari brokenhome?
Sekali lagi,
mendapatkan input yang baik tidaklah
mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil.
Oleh sebab itu diperlukan sinergi dari semua pihak. Tidak bisa hanya mengandalkan orang yang
berada di dalam STT, tetapi perlu dukungan dari gereja, para alumni, dan semua
orang Kristen. Panggilan
Tuhan untuk melayani sejatinya ditujukan kepada semua kalangan (kaya-misikin,
pintar-kurang pintar). Yang paling
penting adalah yang bersedia berkata: “Ini aku Tuhan, utuslah aku”.
Mari minta kepada Tuhan penuai-penuai,
karena masih banyak pekerjaan (menanam dan) menuai (lihat Matius 9:37-38).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar